Dasar Populer RUU-KUHP : Pola Pikir Agamis
- Oct 4, 2019
- 4 min read

(credit : Miera Ludfia Islamy, instagram.com/@mieraludfia)
Polemik yang sedang marak diperbincangkan saat ini mengenai RUU-KUHP yang dinilai tidak sesuai atau kontroversial ditemukan dalam beberapa pasal. Setidaknya ada 8 pasal yang bermasalah menurut pandangan sebagian masyarakat, salah satunya pasal mengenai perzinaan. Seperti yang dilansir oleh cnbcindonesia.com pada 26/09/19 : 08.22 WIB, adanya perluasan makna semua hubungan seks diluar pernikahan dianggap perzinaan yang sebelumnya zina didefinisikan dengan persetubuhan bila salah satu atau dua-duanya terikat pernikahan. Perluasan definisi ini yang dianggap sebagian masyarakat kan menjadi “pasal karet” dimana standar atau tolak ukur dari undang-undang tersebut tidaklah jelas.
Perincian Pasal Perzinaan RUU-KUHP
Pada pasal 417 ayat (1) Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda Kategori II (denda Rp 10 juta).
Konteks bukan suami atau istrinya adalah; a. Laki-laki dalam ikatan pernikahan bersetubuh dengan bukan istrinya, b. Perempuan dalam ikatan pernikahan bersetubuh dengan bukan suaminya, c. Laki-laki tidak dalam ikatan pernikahan namun bersetubuh dengan perempuan yang memiliki ikatan pernikahan, d. Perempuan tidak dalam ikatan pernikahan namun bersetubuh dengan laki-laki yang memiliki ikata pernikahan, e. Laki-laki dan perempuan tidak dalam ikatan pernikahan namun melakukan persetubuhan.
Masih dalam pasal yang sama, pada ayat (2) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, orangtua, atau anaknya.
Anak yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah anak berusia 16 tahun.
Pada ayat (3) Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 30.
Dan ayat (4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.
Sementara pada pasal 418 ayat (1) Laki-laki yang bersetubuh dengan seorang perempuan yang bukan istrinya dengan persetujuan perempuan tersebut karena janji akan dikawini, kemudian mengingkari janji tersebut dipidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak kategori III.
Penjelasan pada ayat ini perlindungan pada perempuan yang setuju melakukan persetubuhan dengan laki-laki yang menjanjikan akan mengawininya tetapi laki-laki tersebut mengingkari janjinya atau karena tipu muslihat lain tidak mengawininya.
Ayat (2) Dalam hal Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kehamilan dan laki-laki tersebut tidak bersedia mengawini atau ada halangan untuk kawin yang diketahuinya menurut peraturan perundang-undangan di bidang perkawinan dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Kategori IV.
Konteks dari ayat tersebut untuk mencegah seorang laki-laki yang tidak beristri melakukan persetubuhan dengan seorang perempuan yang tidak bersuami yang mengakibatkan hamilnya perempuan tersebut. Laki-laki yang menghamili perempuan tersebut dipidana jika tidak bersedia mengawininya atau walaupun bersedia mengawininya perkawinan tersebut tidak dapat dilangsungkan karena terdapat halangan menurut hukum perkawinan yang diketahuinya.
Terakhir ayat (3) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan perempuan yang dijanjikan akan dikawini. Dan ayat (4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai. (sumber: Liputan6.com 27/09/19 : 07.30 WIB)
Pro-Kontra : Kontekstualisasi di Masyarakat
Banyak respon yang timbul di masyarakat, baik postif maupun negatif. Salah satu yang menyambut baik adanya RUU ini adalah Ikhsan Abdullah, komisi umum MUI.
Dilansir dari kumparan.com pada 22/09/19 : 07.12 WIB , Ikhsan Abdullah menyatakan adanya kekhawatiran jika nantinya zina menjadi sebuah tradisi karena terus-menerus dibiarkan. Ia menyatakan bahwa urusan moral adalah urusan negara, dimana negara harus hadir dalam segala nilai yang ada.
Sementara reaksi kontra ditunjukkan oleh salah satu pakar hukum, Anugerah Rizky Akbari. Seperti dilansir di Tempo.com pada 20/09/19 : 07.42 WIB, mekanisme penyelesaian hal terkait perzinaan bisa diselesaikan lewat cara lain terlebih dahulu (tidak langsung pidana). Proses kriminalisasi bisa terjadi karena banyaknya perkawinan di Indonesia yang tidak tercatat. Menurutnya, batasan privasi yang dimiliki individu menjadi terancam.
Pola Pikir Populer : Agamis
Banyak aspek yang mendorong terbuatnya RUU-KUHP. Salah satunya dasar pemikiran yang banyak dianut oleh masyarakat Indonesia, pola pikir agamis. Pengaruh agama memang signifikan dalam pembuatan peraturan. Baik negara melalui undang-undang atau langsung mempengaruhi masyararakat.
“Interaksi yang luas dan rumit antara agama dan kehidupan publik tidak bisa ditutup” (Benne, 2010).
Faktor budaya seperti kohabitasi, seks bebas, hubungan sesama jenis dianggap tidak sesuai norma-norma yang berlaku di masyarakat. Norma inilah yang banyak dipengaruhi oleh agama sebagai produk dari pola pikir yang agamis. Namun, menjadikan agama sebagai landasan pembuatan undang-undang dalam konteks perzinaan dapat membuat banyak multitafsir dan secara substansi bermasalah.
Seperti yang dilansir alinea.id pada 23/09/19 : 22.45 WIB, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), asfinawati mengungkapkan negara terlalu jauh masuk pada hak konstitusional warga negara yang sifatnya privat dengan menggunakan hukum pidana. Menurutnya, dengan disahkannya RUU perzinaan ini akan berdampak pada peningkatan perkawinan anak usia dini yang seharusnya dicegah oleh negara.
Posisi Penulis
Dalam kontroversi yang terus berkelanjutan hingga ditundanya RUU-KUHP untuk disahkan, kajian ulang secara menyeluruh perlu dilakukan oleh para dewan. Tak hanya mengambil keputusan dengan menggunakan perspektif yang paling menonjol (populer) namun juga mengikutsertakan pandangan lain yang perlu dipertimbangkan secara matang.
Saya menyoroti bagaimana pembuktian dari laporan yang akan masuk nantinya jika RUU ini disahkan. Bagaimana cara pembuktian bagi pelaksana pernikahan adat? Pernikahan yang tidak terdaftar? Bagaimana cara pembuktian bahwa setiap laporan adalah fakta? Bagaimana pembenaran yang dapat dikatakan valid untuk menjadi barang bukti?
Proses tersebut masih jauh dari kata sempit, apalagi pelapor yang dianggap memenuhi syarat diperluas dengan memasukkan kepala desa setempat. Kriminalisasi akan terjadi dimana-mana dengan motif yang berbeda-beda. Lalu pernikahan dini marak terjadi akibat para orang tua takut anaknya akan berzina. Menurut saya dalam perancangan undang-undang diperlukan kajian akademik yang empiris untuk terciptanya sebuah peraturan yang dapat diterima dan dijalankan segenap masyarakat. Pemisahan pola pikir populer dalam beberapa sektor menjadi solusi akan hal tersebut. Karena, jika semua landasan pembuatan rancangan undang-undang merupakan pola pikir agamis dapat dipastikan lembaga-lembaga agama juga dapat mengintervensi atau mempengaruhi negara lebih jauh (Rabinovici & Sommer, 2017). Namun, hal yang perlu dimengerti disini adalah bagaimana negara melibatkan pola pikir populer yakni agamis ini juga sebagai jalan untuk mengkokohkan kekuasaan terhadap warga negaranya. Jika hal yang dianggap masuk ke ranah privat saja diatur sedemikian rupa oleh negara, akan lebih mudah mengatur hal-hal yang lebih bersifat umum nantinya. Disaat hal tersebut terjadi mungkin kebebasan akan menjadi barang yang sangat mahal harganya.
Comments