top of page
Search

Gejayan Memanggil : Keberpihakan pada Masyarakat Sipil

Updated: Nov 22, 2019

Tulisan ini dibuat untuk menilik kembali tujuan awal dari dilaksanakannya aksi. Tujuan tersebut begitu erat kaitannya dengan masyarakat sipil, masihkah mereka terwakili dari aksi ini dan bagaimana mereka menanggapi aksi tersebut? Dalam tulisan ini juga akan memuat pendapat saya mengenai relasi antara aksi Gejayan Memanggil ini dengan kebermanfaatannya terhadap masyarakat sipil. Tulisan ini membahas mengenai aksi Gejayan Memanggil, yang mana jika menilik kembali pada aspek historis aksi ini, maka aksi ini bukanlah aksi yang pertama kalinya. Aksi yang saya ikuti pada tanggal 23 September 2019 silam itu adalah sejarah yang dilanjutkan dari sejarah yang tercipta pada tahun 1998 dan berpuncak pada tanggal 8 Mei 1998 (https://tirto.id/kronologi-sejarah-aksi-gejayan-demonstrasi-mahasiswa-1998-eizn).


Ketika aksi ini dilaksanakan dua kali di tempat yang sama dan pada kegentingan yang sama, pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa aksi ini dilakukan di Jalan Gejayan? Aksi Gejayan Memanggil pertama yang terjadi pada tahun 1998 itu awalnya memang telah direncanakan untuk dilakukan di Gedung DPRD Provinsi Yogyakarta yang terletak di Jalan Malioboro (https://tirto.id/kronologi-sejarah-aksi-gejayan-demonstrasi-mahasiswa-1998-eizn). Aksi yang diawali dengan long march dari kampus Universitas Gadjah Mada itu kemudian menuai banyak hambatan oleh aparat yang telah bersiaga di luar kampus. Karena aksi tersebut menyebabkan bentrokan dan kerusakan yang besar, rencana untuk aksi berikutnya adalah di Keraton Yogyakarta yang mana pada saat itu Sultan Hamengkubuwana X belum menyampaikan dukungannya terhadap gerakan reformasi (https://tirto.id/kronologi-sejarah-aksi-gejayan-demonstrasi-mahasiswa-1998-eizn). Sekali lagi, aksi ini kembali menuai banyak kontak fisik secara kasar antara massa aksi dengan aparat. Tidak berhenti di situ, massa aksi tetap gigih untuk melakukan aksi dan keesokan harinya massa aksi berkumpul di Bundaran UGM yang mana dalam aksi tersebut mereka menyatakan keprihatinan atas kondisi perekonomian negara, penolakan Soeharto sebagai presiden kembali, memprotes kenaikan harga-harga, serta mendesak segera dilakukannya refomasi (https://tirto.id/kronologi-sejarah-aksi-gejayan-demonstrasi-mahasiswa-1998-eizn).


Setelah menguraikan sedikit mengenai aksi Gejayan Memanggil yang terjadi 21 tahun yang lalu, pertanyaan yang muncul kemudian adalah apa tujuan dilakukannya aksi Gejayan Memanggil pada tanggal 23 September ini? Aksi yang kembali digaungkan pada lebih dari satu minggu yang lalu itu bertujuan untuk kembali menyuarakan suara rakyat yang merasa dirugikan atas beberapa revisi undang-undang. Aksi yang diprakarsai oleh Aliansi Rakyat Bergerak itu menggaungkan tujuh poin sebagai tuntutan mereka. Tujuh poin tersebut berkaitan erat dengan RUU Ketenagakerjaan, RUU Pertanahan, RUU KPK, RKUHP, isu lingkungan pembakaran hutan, dan RUU PKS yang tak kunjung diselesaikan atau disahkan (https://www.inews.id/daerah/yogya/aksi-gejayan-memanggil-7-tuntutan-massa-dari-rkuhp-hingga-penangkapan-aktivis).


Usai aksi tersebut, nampaknya tidak banyak perubahan yang terjadi dan Aliansi Rakyat Bergerak dirasa perlu untuk melakukan aksi kembali. Aksi Gejayan Memanggil yang kedua kemudian digelar pada tanggal 30 September 2019 lalu. Kali ini tuntutan yang digaungkan pada aksi yang kedua bertambah dua poin yang terkait dengan pengeluaran Perppu oleh presiden dan pelibatan masyarakat sipil dalam meninjau ulang pasal-pasal yang dianggap bermasalah. Aksi yang bertujuan untuk mempertegas kembali sikap massa aksi untuk menuntut poin-poin dalam aksi sebelumnya yang belum dikabulkan untuk segera dikabulkan itu berjalan damai layaknya aksi yang digelar sebelumnya.


Saya pribadi bukanlah orang yang dengan mudah berada di kerumunan dalam waktu yang lama. Pada awalnya, saya juga sangat tidak tertarik dengan aksi yang akan diadakan pada tanggal 23 September 2019 tersebut. Tetapi setelah membaca Press Release Kajian yang dikeluarkan oleh Aliansi Rakyat Bergerak, saya pun merasa perlu untuk ikut serta dalam aksi tersebut. Saya merasa kehadiran saya setidaknya akan berpengaruh pada jumlah massa aksi dan semakin lantangnya tuntutan-tuntutan yang diteriakkan. Ketika saya ikut serta dalam aksi tersebut, saya benar-benar melampaui apa yang saya lakukan selama ini. Seumur hidup, saya hanya berusaha agar tidak memperlihatkan diri di depan banyak orang.


Bukan apa-apa, saya hanya terlampau introvert. Selama aksi tersebut saya melihat beberapa warga yang mencoba mendokumentasikan long march yang kami lakukan dari Bunderan UGM dari balkon rumah ataupun gedung-gedung. Saat itu saya bertanya-tanya, apakah mereka merasa terwakili dengan adanya aksi ini? Sudahkah mereka merasa lega dengan digelarnya aksi ini? Dan apakah mereka merasa aksi ini dibutuhkan? Pertanyaan tersebut seolah-olah terus menghantui saya selama long march, mengingat saya tidak ikut konsolidasi pada hari-hari sebelum aksi dan bagaimana keinginan masyarakat sipil yang sebenarnya.


Selama berhari-hari saya memikirkan tentang bagaimana tanggapan masyarakat yang sejujurnya terkait dengan aksi Gejayan Memanggil itu. Pada hari Kamis, 26 September 2019, akhirnya saya berkesempatan untuk bertanya pada seorang driver ojek online karena saya juga harus pergi ke suatu tempat untuk rapat. Ketika saya hanya iseng menanyakan bagaimana perasaan driver tersebut terhadap aksi yang dilakukan tiga hari yang lalu, diluar dugaan, driver tersebur menanggapinya dengan serius. Ia menyampaikan rasa terima kasihnya kepada massa aksi yang ikut tergabung dalam aksi tersebut. Driver tersebut juga menyampaikan bahwa aksi semacam ini sangat diperlukan karena mereka sendiri bahkan tidak merasa terwakilkan dan ia merasa bahwa revisi undang-undang yang dirancang oleh DPR itu tidak memihak rakyat.


Informan dadakan saya ini juga menyampaikan bahwa sebelumnya mereka tidak mendapat sosialisasi apapun dari pemerintah terkait dengan RUU yang mereka ajukan. Selain itu, saya sempat bertanya tentang blokade jalan untuk long march massa aksi. Driver berusia paruh baya ini bahkan menyampaikan bahwa ia merasa ikhlas ketika harus melewati jalan yang lebih jauh dan memakan waktu lama untuk sampai ke tempat tujuan. Baginya, aksi ini memang pantas diberikan kesempatan untuk mengambil alih fasilitas umum. Pada saat inilah saya benar-benar kehilangan kata-kata dan baru menyadari bahwa dampak yang diakibatkan dari aksi tersebut sangat besar pengaruhnya.


Belum berhenti di situ, saya kembali melakukan mini-riset dadakan di salah satu angkringan. Saat itu, tanggal 30 September 2019, seorang wanita paruh baya yang merupakan penjual di angkringan tersebut bertanya kepada saya, “Hari ini kuliah libur ya, mbak?” Dengan nada biasa, saya menjawab kalau kuliah tidak libur dan segala kegiatan akademis tetap berlangsung. Tak disangka, ibu tersebut memasang wajah muram dan berkata, “Lah. Hari ini kan ada demo, mbak. Kok gak libur?” Hal tersebut sangat diluar dugaan dan saya sendiri sudah kehilangan kata-kata. Sebagai mahasiswa dan seseorang yang pernah menjadi massa aksi, saya sangat tidak menyangka bahwa aksi tersebut membawa pengaruh yang besar. Selain itu, saya juga tidak menyangka bahwa aksi ini dapat menjadi harapan mereka yang mana terakhir kali digelar pada tahun 1998.


Ketika Kepala Staf Kepresidenan dan Wakil Ketua DPR menyampaikan di salah satu acara di stasiun TV swasta bahwa aksi-aksi yang digelar di berbagai daerah dan di depan Gedung DPR / MPR RI itu merupakan gerakan nostalgia para aktivis yang telah lama merindukan satu sama lain, saya merasa hal tersebut ada benarnya jika saya tidak pernah berbincang dengan masyarakat sipil terkait dengan aksi tersebut. Namun hal yang sebaliknya terjadi, saya pikir aksi ini lebih dari sekadar nostalgia. Searah dengan pemikiran para massa aksi, saya berpikir bahwa aksi ini menjadi “alarm” perjuangan yang selama ini terjeda. Alarm yang kembali menyala ketika gesekan besar-besaran antara kepentingan rakyat dan peraturan yang dibuat untuk rakyat. Setelah berbincang dengan dua orang yang berprofesi berbeda itu, saya cukup tercerahkan dan saya dapat menyimpulkan bahwa aksi ini memang mewakili rakyat dan menjadi harapan bagi rakyat ketika elit politik sangat sulit dipercaya.

Bagaimana dampaknya sejauh ini? Apakah rakyat benar-benar terwakili?
Sumber : Detik News

18 views0 comments

Recent Posts

See All

PEMBATASAN JAM MALAM BAGI PEREMPUAN

Nama: Hanum Ari Prastiwi NIM: 18/424761/SA/19133 Mata Kuliah: Komposisi Menulis Kreatif (menulis etnografi) Alasan pembatasan jam malam pada perempuan terutama suku Jawa sudah tidak asing dengan kalim

bottom of page