top of page
Search

Citra Sasmita: Ordinat Fisika dan Absis Feminisme

Oleh Annisa Tiara Putri dan Johanes De Brito Kidung Sakti Gemelio Danardono


Sumber Foto : google

Pagi menjelang siang kala itu, pada hari Jumat, 6 Desember 2019, sekitar pukul 10.30 kami berdua berjalan menuju ke Sekre Kemant yang berada di Gedung Soegondo 520. Di ruangan yang sempit dengan dan dingin (persis seperti kulkas!), kami berdua menunggu kabar dari salah satu seniman yang berkontribusi di event Biennale Jogja Equator #5 2019 yang berlangsung di Jogja National Museum (JNM), yaitu Citra Sasmita. Kami berdua sudah janjian pada hari itu juga untuk melakukan wawancara tidak tatap muka alias online dengan Citra Sasmita. Hal ini dikarenakan Citra Sasmita yang sudah pulang ke Denpasar sehingga membuat kami berdua kesusahan untuk menemuinya secara langsung untuk bercakap-cakap. Wawancara yang seharusnya berlangsung pukul 11.00 WITA pun harus mundur sedikit karena Citra Sasmita sedang melakukan meeting di kantornya. Sembari menunggu, kami berusaha menenangkan dada kami dipenuhi oleh rasa deg-degan.


Tepat pukul 10.58 Citra Sasmita pun langsung menelepon melalui aplikasi whatsapp. Hal tersebut membuat kami berdua sontak kaget dan tidak siap karena tidak memberikan kabar terlebih dahulu melalui chat. Telpon diangkat, kami memperkenalkan diri, dan obrolan pun langsung berlanjut. Citra Sasmita dengan suara yang tenang dan tegas menyambut baik kami berdua. Logat Bali-nya pun terdengar kental tiap kali ia mengucapkan kata-kata yang keluar dari mulutnya. Kedua pihak di telpon saling meminta maaf - Citra Sasmita dengan alasan kesibukannya sehingga wawancara selalu tertunda, lalu kami dengan alasan mengganggu waktunya. Mendapatkan impresi awal yang baik dari CItra Sasmita pun membuat kami berdua bersemangat untuk mengulik lebih dalam kehidupannya sebagai salah satu seniman perempuan - yang sebelumnya salah satu karyanya sempat kami ulas melalui sebuah tulisan.


Seniman dan Seni Hidup yang Dilaluinya

Tidak semua seniman di Indonesia maupun dunia itu mempelajari ilmu seni secara terstruktur yang didapatkan melalui bimbingan belajar khusus maupun dari dunia perkuliahan dalam bidang seni. Citra Sasmita adalah salah satu orang yang mengalami hal tersebut. Ia tidak kuliah jurusan seni - melainkan menempuh pendidikan tingkat tingginya di jurusan Fisika di Universitas Udayana, Bali. Kami lansir dari Wikipedia, sebenarnya Citra Sasmita tidak mendapatkan restu dari Almarhum ayahnya saat ingin melanjutkan studi lukisnya.


Di telepon, ia bercerita bahwa pada saat kuliah, di luar aktivitas akademiknya, ia juga berkecimpung di seni teater dan seni sastra. Melalui dunia sastra, ia pada akhirnya dapat mewujudkan kosa kata yang ia dalami menjadi karya visual. Awalnya hanya sketsa biasa, sampai akhirnya Citra Sasmita direkrut sebagai ilustrator cerpen di Bali Post. Pengalaman selama lima tahun di Bali Post membantunya memantapkan kemampuannya di seni visual - ia mulai mewujudkan kata-kata yang ada melalui simbol-simbol yang ia lukiskan melalui ilustrasinya.


“Tuntutan di dunia seni rupa tidak hanya masalah teknis, tetapi bagaimana seniman dapat menyampaikan pesan dari karya seni yang telah dibuat kepada pengunjung yang melihat karya seni tersebut.”


Sebelum benar-benar mengobrol dengan Citra Sasmita, kami beberapa kali mengunjungi instagram dan blog pribadinya. Banyak dari karyanya merepresentasikan sosok perempuan. Saat membaca salah satu artikel di blog pribadinya, kami berdua menemukan beberapa kalimat yang menjelaskan hal tersebut, yaitu: “I had a harsh critique of the patriarchal system that disadvantage women. Where women not have full rights and freedom in society including her politics life. The role of women is limited from taking care of the household, gave birth to continue the descent, as well as other activities that full restraint. It is a cultural problem that inherited and continues until to the present generation, which is caused by the failure of the education system that embedded in family life even in wider community”.


Perihal perhatiannya dengan isu perempuan ini juga sempat kami bincangkan di telepon. Ia bercerita bahwa ketertarikannya terhadap feminisme berangkat dari inspirasi yang ia dapatkan melalui mentornya di Bali Post, yang bernama Oka Rusmini. Menurut penjelasannya, Oka Rusmini merupakan sosok feminis. Ia mengatakan bahwa istilah feminisme memang sangat baru di Indonesia - tetapi meskipun begitu, memandang realita perihal isu-isu yang menyangkut perempuan akhir-akhir ini serta beberapa aspek kebudayaan yang masih patriarkis, rasanya relevan untuk menggunakan istilah ‘feminisme’ untuk menggambarkan perjuangan yang sedang ia geluti.


Membedah Timur Merah Project; The Embrace of My Motherland

Latar belakang studi ilmu fisika menyempurnakan langkah-langkah Citra Sasmita. Penyatuan ilmu pasti tersebut dengan aspek-aspek kebudayaan yang ia geluti membantunya dalam menyesuaikan kacamatanya dalam melihat fenomena-fenomena sosial, lalu menuangkannya ke dalam bentuk visual. Perkenalan Citra Sasmita dengan feminisme menjadi titik berangkat persoalan yang ia bawa ke dalam karya-karyanya. Di samping hal tersebut, Citra Sasmita turut berlandas pada keberadaan sejarah. Ia meretas sejarah, yang, menurut penuturannya, luput melibatkan perempuan. Celah-celah keluputan dalam sejarah tersebut ia gunakan sebagai alat untuk menyuntikkan gagasannya dan diwujudkan dalam karya-karya yang ia ciptakan.


Medium-medium dalam karyanya yang berjudul Timur Merah Project; The Embrace of My Motherland meneriakkan perhatian-perhatiannya tersebut. Salah satu aspek pembacaan sejarah yang luput menurutnya adalah dalam pewarisan teks-teks lama yang perannya signifikan. Teks-teks digunakan sebagai landasan, seperti yang dilakukan para founding fathers Indonesia dalam merumuskan aturan-aturan berdasar UUD 1945 dan Pancasila. Menurut Citra Sasmita, dalam teks-teks lama, representasi perempuan tidak sentral - seperti contohnya, teks kakawin di Bali yang banyak mengekspos laki-laki ketimbang perempuan. Maka dari itu, dalam karyanya Timur Merah Project; The Embrace of My Motherland, peletakan tulisan di lantai yang ditulis menggunakan kunyit berisi tentang pujian terhadap sosok Ibu. Menuhankan Ibu, di mana yang biasanya digambarkan dalam sosok Tuhan adalah seorang figur maskulin.


Medium lainnya, yaitu lukisan di atas kanvas berbentuk persegi panjang, dilukis dengan gaya kamasan. Gaya lukis kamasan tersebut lahir di Bali, dan menurut keterangan Citra Sasmita, merupakan cikal bakal seni lukis pertama di Bali. Dibawanya gaya lukis ini merupakan cara menengahkan yang pinggir dalam aspek geografis - bahwa Indonesia tidak hanya pulau Jawa saja di mana pemerintahan berpusat. Ada Bali dan gaya lukis kamasannya. Ada bagian-bagian lain dari Nusantara yang patut diperhatikan dan diberi makan oleh pemerintah dan disayang-sayang oleh warga negaranya.


Di medium terakhir, kantong-kantong yang berisi rempah, serta penggunaan kunyit dalam teks yang ditulis di lantai juga turut menyumbang makna tersendiri. Penggunaan kunyit didasarkan Citra Sasmita kepada pengalaman personalnya saat melakukan riset di Yogyakarta mengenai pasar. Bau kunyit sangat rekat dengan ingatannya di pasar yang menjadi ruang cair bagi semua orang - tidak ada pembatas di dalam ruang tersebut. Pun rempah tak hanya sesederhana pewarisan cara memasak dari seorang Ibu ke anaknya, tapi rempah-rempah juga dapat ditarik akar sejarahnya - menuju masa kolonial Belanda, misalnya.


Dari makna-makna tersebut, dapat disimpulkan bahwa Citra Sasmita menarik karya-karyanya melalui konteks sejarah. Pinggiran yang berusaha ia bawakan disetir melalui celah-celah yang luput dalam sejarah, dialirkan sedemikian rupa melalui instalasi seni-nya di Biennale Jogja 2019. Aliran-aliran ini dicampuri dan diperkuat oleh isu-isu feminisme yang ia perjuangkan. “Sejarah dituliskan oleh pemenang,” ucapnya kepada kami kala itu dan langsung kami sambut dengan gumaman kecil serta anggukan membara. Melalui celah yang diisi Citra Sasmita ini, tak ada lagi pemenang dalam sejarah yang berusaha ia ceritakan - karena penyempurnaan dalam pengisian celah ini memandang ‘sejarah’ dengan kacamata lebih holistik.


Simbol-Simbol yang Ingin Disampaikan

Saat ditanya harapan yang muncul saat para pengunjung melihat karyanya yang berjudul Timur Merah Project; The Embrace of My Motherland, Citra Sasmita ingin bercerita kepada para penikmat karyanya perihal realita yang dihadapi perempuan dan masyarakat kelas bawah. Sempat karya-karyanya yang sarat akan simbol tidak tercapai maknanya - bahkan untuk teman sesama seniman, maka kali ini, ia berharap hal itu tidak terjadi. Ia ingin karya-karyanya yang langsung berbicara kepada para penikmat, tanpa Citra Sasmita harus berada di sana dan menjelaskan secara verbal.


Baginya, seni merupakan sarana yang memperhalus perasaan kita semua. Kadang kita terlalu dibutakan oleh desakan-desakan yang muncul di sekitar kita - dalam bentuk dinding beton, waktu kejar tayang, rasa takut ketinggalan, dan lain sebagainya. Seni hadir untuk tetap mengasah kepekaan kita terhadap fenomena-fenomena sosial yang terjadi di luar balon-balon kecil yang tercipta dan turut kita ciptakan. Seni hadir untuk menggugah rasa.


Yang Citra Sasmita bawakan dan dengan yang para aktivis perjuangkan, walaupun pada akhirnya melalui cara yang berbeda, adalah sama. Keberadaan alat seperti seni ini memperluas jangkauan perjuangan atas fenomena-fenomena sosial yang merebak ke seluruh sendi kehidupan kita. Perlu sentilan berkali-kali melalui sudut-sudut yang banyak untuk tetap membangun kesadaran bahwa perjuangan-perjuangan ini adalah milik kita bersama - walau diwujudkan melalui cara yang berbeda-beda.


Sumber :

Wawancara Via Telepon dengan Citra Sasmita

61 views0 comments

Recent Posts

See All

Obi: Volunteering Adalah Momentum Pengembangan Diri

(Oleh Haerunnisa dan Nanda Sazkya) Tergabung menjadi seorang volunteer atau relawan adalah sebuah hal yang sering kali dan umum dilakukan. Membantu dengan sukarela, meluangkan waktu dan kemampuan sert

MEMAHAMI SITUASI PINGGIRAN LEWAT PERAN FISIK MANUSIA

Oleh Gabriel Dania Rekalino Kandolia Ajang pameran seni rupa Biennale Jogja XV 2019 dilaksanakan secara tersebar di beberapa lokasi di Yogyakarta pada 20 Oktober-30 November 2019. Tahun ini, Biennale

bottom of page