top of page
Search

Budi Andayani: Bercerita tentang Psikologi Anak

Updated: Dec 26, 2019


Faradila Dita T. dan Amma Hidayati

 

Dr. Budi Andayani, M.A. atau yang sering dipanggil Ibu Budi adalah seorang dosen di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Beliau adalah seorang dosen yang fokus studinya adalah tentang psikologi keluarga dan pernikahan. Beliau telah melakukan banyak penelitian tentang psikologi khususnya berfokus pada keluarga. Dan seiring dengan perjalanan karirnya, beliau telah banyak mengeluarkan publikasi berupa buku, jurnal, maupun artikel.


Ketika menceritakan tentang awal mulanya beliau tertarik dengan psikologi beliau seperti berpikir sejenak untuk mengingat kembali masa-masa yang sudah lalu tersebut. Perempuan berkerudung yang mempunyai kulit yang sudah timbul kerutan ini menceritakan bahwa pada saat SMA ketika melakukan tes minat bakat beliau mulai tertarik dengan psikologi. Kemudian beliau akhirnya memutuskan untuk berkuliah di Universitas Gadjah Mada jurusan Psikologi.


Ketertarikan beliau terhadap psikologi keluarga bermula karena menurutnya itu adalah sesuatu yang penting untuk dipelajari. Dan yang paling terpenting pada saat itu orang jarang yang memilih untuk berfokus ke psikologi keluarga. Beliau menegaskan dengan logat Jawanya untuk mencari yang berbeda dengan yang lainnya. Beliau lebih berminat tentang keluarga dan dinamika serta persoalan tentang keluarga. Akan tetapi beliau tidak berminat mempelajari keluarga secara klinis dan lebih memilih untuk menjadi konselor daripada terapis.


Ibu Budi yang pada saat mengobrol dengan kami sedang menggunakan baju terusan abu-abu ini menjelaskan tentang perbedaan konselor dengan terapis. Konselor ini adalah suatu profesi yang hanya sharing dan mengobrol tentang persoalan dari klien. Biasanya sebagai seorang konselor menyarankan untuk mencoba menemukan sendiri permasalahannya dan memberi arahan serta ikut memetakan permasalahan klien. Sedangkan terapis ini ada semacam perlakuan dan kemudian melakukan pengamatan dan mendampingi. Biasanya durasi terapis ini bisa sangat panjang dengan jumlah sesi yang beragam yang dimulai dari satu sesi.


Pada kesempatan kali ini kami berbincang-bincang tentang kondisi psikologis anak. Di sini kami berkesempatan untuk mengobrol banyak hal dengan Ibu Budi terkait dengan kondisi psikologis anak karena beliau mempunyai fokus studi sebagai psikologi keluarga. Hal ini dilatarbelakangi ketika kamu berkunjung ke pameran Biennale di Taman Budaya Yogyakarta, kami menemukan tulisan anak yang membuat kami kagum. Tulisan tersebut berisi seperti ini

“Gurita kupilih karena selama ini orang menganggap gurita hewan yang menyeramkan. Namun bisa jadi dia hewan yang baik hati. Dengan tangan yang banyak, maka akan banyak menolong sesama. Peace from Tito”

anak tersebut menganalogikan gurita sebagai hewan yang mempunyai kepedulian yang banyak karena mempunyai banyak tangan. Hal ini lah yang menjadikan kami penasaran hal apa yang mempengaruhi kondisi tersebut.


Menurut Ibu Budi kondisi psikologis anak tersebut sebenarnya dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya yaitu keluarga, lingkungan, dan dirinya sendiri. Sebenarnya tidak semua keluarga tersebut mengajarkan kepeduliam. Hanya keluarga yang istemewa yang mengajarkan kepedulian kepada anaknya secara langsung maupun tidak langsung. Dan hal inilah yang menjadi salah satu faktor yang menentukan bagaimana anak tersebut dapat berkembang dengan mengikuti bagaimana keluarganya bertindak dan berpikir.


Akan tetapi terkadang anak dapat berpikir sendiri dan memutuskan segala sesuatunya sendiri sesuai dengan kehendaknya. Jadi anak itu sebenarnya sudah dapat berpikir dan memperhatikan keadaan di sekitarnya. Dan dengan melihat keadaan sekitar itulah anak sudah dapat memutuskan untuk mengambil sesuatu hal. Dan inilah yang kemudian akan membuat anak mempunyai pemikiran yang berbeda dari keluarganya.


Dalam psikologi, perilaku seseorang selain kepribadian, fungsi behavior atau kepribadian dipengaruhi oleh lingkungan. Fungsi inilah yang disebut sebagai interaksi kepribadian dengan lingkungan. Perihal fungsinya bagaimana kepribadian itu tergantung kepada masing-masing, tentang berpikir, menghayati, dan menyerap sesuatu dari lingkungannya. Beliau menegaskan bahwa seorang anak itu bisa memilih sesuatu hal dan pilihan tersebut pasti ada dasarnya, apakah ingin menjadi baik atau nakal. Permasalahan pemilihan keputusan tersebut juga merupakan pengaruh dari keluarga dan keluarga sudah membekali anak tersebut sehingga dapat memutuskan apa yang diinginkannya.


Tantangan menjadi orang tua sekarang ini di era digital dan modern sangatlah berbeda dengan orang tua pada zaman dahulu. Karena di era digital seperti ini orang tua perlu untuk memberikan perhatian lebih terhadap bagaimana perkembangan cara berpikir anak. Hal ini dikarenakan dengan maraknya penggunaan gawai, anak-anak akan menjadi kurang bergaul dengan teman atau keluarganya secara langsung karena lebih memilih berinteraksi secara virtual. Akan tetapi pada zaman dahulu permasalahan yang sering dihadapi orang tua adalah tentang pergaulan bebas, ya walaupun sekarang ini persoalan tersebut masih ada.


Ibu Budi bercerita bahwa untuk dapat dekat dengan anak harus dimulai dengan sering mengobrol satu sama lain. Karena beliau sebagai konselor sering menyarankan kepada para orang tua untuk sesering mungkin mengajak ngobrol anak-anaknya tentang apapun maupun itu tentang kegiatannya sehari-hari. Walaupun mungkin pada awalnya anak akan mempunyai perasaan seperti “ngapain hal-hal tidak penting seperti itu di ceritakan?” Akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu anak akan lebih terbiasa untuk selalu bercerita kepada orang tua karena melihat orang tuanya yang sering bercerita kepada anaknya.


Selain bercerita dan menjelaskan tentang psikoogis anak, Ibu Budi juga bercerita tentang pengalamannya ketika masih kuliah sampai mengajar di Fakultas Psikologi. Beliau bercerita bahwa dahulu di psikologi namanya bukan jurusan akan tetapi namanya yaitu bagian. Di psokologi ini dibagi ke dalam beberapa bagian yaitu psikologi umum, eksperimental, sosial, klinis, pendidikan perkembangan, dan idustri. Akan tetapi karena psikologi umum dan eksperimental peminatnya sedikit, maka dari itu kedua bagian tersebut yaitu psikologi umum dan eksperimental digabung menjadi satu.


Di pertengahan perbincangan kami dengan Ibu Budi, kami dikagetkan oleh suara jam dingdong yang bedetak keras sebanyak dua belas kali karena jam sudah menunjukkan pukul 12.00 WIB. Sebab bunyi jam tersebut sedikit mengganggu perbincangan, sehingga kami melanjutkan perbincangan setelah bunyi jam tersebut selesai.


Kemudian kami berbincang dengan santai dan diiringi dengan candaan-candaan ringan mengenai apapun. Ibu Budi bercerita ketika menempuh gelar doktor, beliau berkuliah di Universitas Gunadarma dan lulus pada tahun 2014. Akan tetapi pada awalnya beliau menempuh gelar doktornya di Universitas Gadjah Mada, namun beliau berkuliah terlalu lama karena beliau sambil bekerja menjadi dosen di UGM sehingga pada akhirnya beliau memutuskan untuk berhenti dan berpindah ke Universitas Gunadarma.


Alasan lain beliau terlalu lama dalam menempuh pendidikan doktornya yaitu karena beliau tidak mengambil cuti mengajarnya, karena biasanya jika dosen sedang menempuh pendidikan, dosen akan mengambil cuti mengajar karena pendidikan.


Terdapat hal yang lucu pada saat Ibu Budi sedang wisuda S3nya. Pada saat wisuda yang beliau ingat, wisuda tersebut adalah wisuda untuk jenjang pendidikan D3, S1, S2, dan S3 dan wisuda tersebut dibagi menjadi dua kali dan jadinya ada dua kelompok. Pada waktu sidang doktornya ada tujuh orang yang ikut diwisuda S3 bersama beliau. Ketika diundang dan disebut nama para wisudawan, judul disertasi setiap wisudawan dibacakan satu persatu. Dan pada saat para wisudawan lain dibacakan judul skripsinya para hadirin yang datang tidak bertepuk tangan ketika judul disertasi wisudawan disebutkan. Akan tetapi ketika judul disertasi Ibu Budi yang berjudul “Peran, Komitmen, Komunikasi, dan Proses Keluarga sebagai Moderator antara Cinta dan Kebahagian Keluarga” dibacakan semua hadirin bertepuk tangan. Hal ini dikarenakan para hadirin tersebut mengerti akan maksud dari judul disertasi beliau.


Jadi beliau mengkilas balik tentang jenjang pendidikan yang telah dilampauinya. Pada saat S1 beliau berkuliah di Universitas Gadjah Mada dan menjadi dosen di sana hingga sekarang. Kemudian beliau melanjutkan pendidikan S2nya di Australia dan berfokus pada keluarga. Untuk S3nya awalnya beliau berkuliah di UGM. Akan tetapi karena ada alasan satu dengan yang lain, beliau memutuskan untuk berpindah ke Universitas Gunadarma.


Selain bercerita tentang karirnya sebagai dosen psikologi, Ibu Budi bercerita tentang persoalan pribadinya. Beliau menikah setelah selesai menempuh pendidikan S1nya. Hal ini dikarenakan dahulu ayahnya mengatakan bahwa belum boleh menikah kalau belum sarjana supaya bekal untuk menghadapi pernikahan lebih lengkap lagi.


Kami bertanya tentang publikasi beliau yang menurut kami menarik yaitu tentang tulisan anak yang buruk. Jadi publikasi beliau yang tentang tulisan anak tersebut bisa dikatakan untuk membandingkan suatu fokusnya lebih ke biopsikologi atau ke keluarga. Dan maka dari itu beliau memilih untuk melakukan penelitian tentang tulisan anak di salah satu SD.


Menurut beliau tulisan tangan yang buruk itu berhubungan dengan saraf-saraf dan hal tersebut juga berkaitan dengan fungsi motoric. Maka dari itu saya mencoba untuk melihat tulisan tangan yang buruk tersebut bisa menjadi indikator kemampuan berpikir.


Ibu Budi juga memberikan kami pengetahuan lagi mengenai menikah muda. Beliau memulai ceritanya tentang anak-anak generasi tahun 80-an banyak mahasiswa dan mahasiswi ditengah-tengah perkulihan yang menikah itu dikarenakan adanya paham bahwa menikah untuk menghindari zina. Dan kemudian kami bertanya tentang apakah menikah itu sebaiknya harus menunggu mapan dulu, selesai S2 dulu atau bagaimana? Jadi sewaktu beliau tengah menunaikan ibadah haji, beliau bertemu dengan seorang wanita dari Iran. Ketika diajak ke penginapan orang-orang Iran beliau diberi dua buku yaitu buku yang pertama tentang ajaran-ajaran Ali dan satunya tentang pernikahan. Dalam buku pernikahan tersebut dikatakan bahwa menikahlah ketika sudah waktunya menikah dan menikah ketika telah siap lebih baik lagi.


Selain itu, menurut beliau menikah tidak harus melihat seseorang sudah mapan, sudah mempunyai pekerjaan, ataupun sudah mempunyai rumah. Hal ini dikarenakan dalam pernikahan suatu permasalahan tidak bisa hanya diselesaikan dengan materi, persoalan rumah ataupun pekerjaan. Dan jika memang sudah saatnya seorang anak untuk menikah sebaiknya orang tua segera menikahkan anaknya. Keputusan untuk menikah ini diambil bukan karena MBA (Marriage by Accident) tetapi menikah untuk mempunyai komitmen dan melakukan apa yang dibutuhkan dalam suatu pernikahan. Maka dari itu tidak apa-apa dan tidak usah menunggu mapan, mempunyai pekerjaan, rumah, dan masih banyak lainnya. Hal ini dikarenakan masih banyak orang yang tidak bahagia karena menunggu mapan dahulu. Dan yang terpenting dari pernikahan adalah pertanyaan tentang kapan sebenarnya jodoh tersebut datang.

116 views0 comments

Recent Posts

See All

Obi: Volunteering Adalah Momentum Pengembangan Diri

(Oleh Haerunnisa dan Nanda Sazkya) Tergabung menjadi seorang volunteer atau relawan adalah sebuah hal yang sering kali dan umum dilakukan. Membantu dengan sukarela, meluangkan waktu dan kemampuan sert

MEMAHAMI SITUASI PINGGIRAN LEWAT PERAN FISIK MANUSIA

Oleh Gabriel Dania Rekalino Kandolia Ajang pameran seni rupa Biennale Jogja XV 2019 dilaksanakan secara tersebar di beberapa lokasi di Yogyakarta pada 20 Oktober-30 November 2019. Tahun ini, Biennale

bottom of page