Biennale Jogja XV: Memahami Seni di Mata Khalayak
- prajna paramitha
- Nov 29, 2019
- 5 min read
Biennale merupakan salah satu pameran seni rupa terbesar di Asia Tenggara.
Biennale tahun ini digelar di lima lokasi di Yogyakarta. Tahun ini, Biennale Jogja XV
mengusung tema “Equator” dengan tag line “Do We Live in The Same Playground?”.
Dalam paper ini, kami akan mengulas pameran Biennale Jogja XV yang berlokasi di
Jogja National Museum. Jogja National Museum sendiri berlokasi di Wirobrajan, Kota
Yogyakarta. Tempat ini berada di tengah pemukiman dan pasar warga, yang agak sulit
untuk ditemukan jika tidak ada gedung tinggi dengan tulisan “JNM” di dinding gedung
itu. Jalan yang kami lewati untuk mencapai JNM pun terkesan kumuh dan sedikit
berbau. Kami pikir hal ini terjadi karena adanya pasar tradisional. Saat memasuki
gerbang JNM, kami berhenti untuk membayar parkir sebesar Rp3.000 untuk satu motor.
Dalam lingkungan JNM sendiri, kami melihat banyak pohon beringin yang sangat besar
sehingga kami merasa sedikit merinding.
Saat hendak masuk ke dalam gedung yang menjadi tempat perhelatan karya seni
Biennale Jogja XV, kami disuguhkan dengan tumpukan sampah plastik yang dibentuk
sedemikian rupa sehingga terbentuklah karya seni yang terlihat estetik. Kami tidak
dapat memahami maksud dari karya seni tersebut karena tidak ada narasi yang
menjelaskan makna dari karya seni itu. Selain itu, tidak ada kurator ataupun
sukarelawan yang berjaga di sekitar karya seni dari tumpukan sampah plastik tersebut.
Setelah itu kami pun masuk ke dalam gedung dan mengisi daftar hadir yang telah
tersedia. Pada meja daftar hadir itu, terdapat beberapa suvenir yang dijual oleh pihak
penyelenggara Biennale Jogja XV. Suvenir ini terdiri dari guide book Biennale Jogja
XV, kalender 2020, dan sebagainya. Pada sebelah kiri meja daftar hadir, sesuai petunjuk
dari sukarelawan yang berjaga, terdapat instalasi pertama yang memperlihatkan potret
seseorang di tengah sawah menggunakan pakaian berwarna hitam putih garis-garis dan
terdapat pula video yang merekam orang yang berada di tengah sawah itu sedang
menari dengan gerakan lem gemulai.
Setelah itu, kami berpindah ke ruangan di sebelah kanan meja daftar hadir. Pada
ruangan ini, terdapat lebih banyak instalasi karya seni yang ditampilkan. Karya-karya
seni yang ditampilkan ada yang berupa benda tiga dimensi, gambar dua dimensi, dan
ada yang dalam bentuk film pendek. Di lantai satu, terdapat dua instalasi yang menurut
kami seram, sampai-sampai kami tidak berani masuk ke dalam kedua instalasi tersebut.
Kami hanya berani melihat isi dari kedua instalasi tersebut dari pintu instalasi tersebut.
Pada instalasi tersebut terdapat patung naga yang besar dan beberapa wayang
bergambar manusia yang juga berukuran besar. Entah mengapa kami merasakan aura
yang sangat mencekam di instalasi tersebut. Hal itu membuat kami memutuskan untuk
tidak masuk ke dalam instalasi tersebut dan melanjutkan kunjungan kami ke lantai dua.
Di lantai kedua, instalasi pertama yang kami kunjungi memuat sebuah film
pendek. Instalasi kedua yang kami kunjungi memuat sebuah ruangan yang dibentuk
seperti piramida berukuran panjang, yang di dalamnya ditempel beberapa foto yang
diambil pada masa lalu dan masa sekarang. Ruangan tersebut membuat kami sedikit
pusing karena pantulan cahaya dari kaca-kaca yang digunakan untuk membuat dinding
dalam ruangan tersebut. Setelah itu, kami mengunjungi instalasi yang memuat karya
dari Dian Suci Rahmawati. Pada instalasi tersebut memuat cerita tentang buruh-buruh
rumah yang dibayar murah, yang pada umumnya merupakan ibu-ibu rumah tangga.
Kami sangat menyayangkan orang-orang yang menjadikan instalasi ini sebagai
background untuk foto tanpa mengetahui makna dari karya yang dipajang pada instalasi
tersebut. Setelah itu, kami mengunjungi instalasi berikutnya yang memuat tentang
komunitas Bissu. Namun, kami tidak dapat memahami karya di dalam instalasi tersebut
lantaran karya yang termuat di dalam instalasi tersebut tidak menggunakan bahasa
Indonesia maupun huruf Latin, dan hanya memperlihatkan gambar-gambar. Pada
instalasi tersebut, kami juga harus menggunakan senter untuk melihat gambar-gambar
yang ditampilkan.
Selanjutnya kami mengunjungi instalasi yang memuat koleksi-koleksi kartu pos.
Karya dalam instalasi ini menggambarkan keprihatinan sang seniman terhadap kartu pos
yang sudah hampir tidak pernah digunakan oleh masyarakat. Hanya beberapa orang saja
yang masih mengoleksi kartu pos karena hobi. Selanjutnya, di lantai dua ini ada salah
satu instalasi yang menarik bagi kami, yaitu instalasi yang memuat foto orang-orang
yang duduk di sebuah bean bag dan menggunakan penutup kepala. Orang-orang
tersebut adalah para pekerja, baik pekerja di bioskop hingga pekerja di kampus yang
kerap tidak mendapatkan tempat untuk istirahat yang layak. Karya yang terdapat dalam
instalasi ini merupakan karya dari pendulum yang merupakan sebuah kolektif. Menurut
kami, hal yang menarik adalah bagaimana pendulum dapat memberikan perhatian
kepada para pekerja tersebut di saat banyak orang yang terkesan tidak peduli sama
sekali terhadap kondisi mereka. Bahkan, para pekerja tersebut terkadang diperlakukan
tidak enak (kurang manusiawi) oleh klien mereka. Pendulum mendefinisikan pekerja-
pekerja tersebut sebagai orang-orang yang juga termasuk dalam “pinggiran”. Hal yang
menarik perhatian kami adalah adanya bean bag yang berada di lantai setiap pondokan,
baik pada pondokan tangga atau luar instalasi, yang pada dindingnya tulisan
“#RestDon’tFear”.
Selanjutnya, kami mengunjungi lantai tiga gedung perhelatan seni ini. Pada
lantai tiga ini terdapat beberapa instalasi yang terkesan kotor karena dekorasi dalam
instalasi tersebut. Instalasi pertama yang kami kunjungi memuat film dokumenter dan
beberapa cangkul serta tanah. Kemudian, instalasi berikutnya memuat banner yang
berisi catatan harian tentang seorang seniman ketika Ia berada di dalam penjara.
Instalasi yang berikutnya memuat lukisan babat Bali dan di lantai instalasi tersebut
terdapat tulisan yang ditulis menggunakan kunyit bubuk. Kunyit bubuk inilah yang
membuat ruangan di instalasi tersebut berbau kunyit yang sangat menyengat. Kemudian
terdapat satu instalasi pada lantai tiga ini yang membuat kami enggan masuk karena
baunya yang sangat menyengat dan tidak enak. Instalasi tersebut berisi sebuah karya
seni yang terbuat dari tumpukan sampah plastik yang kami duga berasal dari laut karena
bau dari plastik tersebut berbau seperti ikan asin.
Pada perhelatan seni Biennale Jogja XV ini, kami melihat bahwa para seniman
mencoba untuk memperlihatkan sisi “pinggiran”, yang dalam hal ini masih sedikit
membingungkan. Hal itu berdasarkan dari pengamatan kami yang melihat bahwa tidak
semua karya seni merupakan orang-orang dari pinggiran yang termasuk dalam daerah
3T. Dalam pikiran kami sebelum melihat perhelatan seni Biennale Jogja XV ini, konsep
pinggiran adalah konsep di mana para seniman mengangkat karya seni berdasarkan
daerah-daerah 3T. Kami tidak menyangka bahwa beberapa seniman juga mengangkat
karya seni “pinggiran” yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya seperti karya seni
yang menampilkan potret dari pekerja-pekerja yang tidak mendapatkan tempat istirahat
yang layak, karya seni yang menampilkan gambaran dan kisah mengenai titik-titik
lemah laki-laki dalam bentuk seksualitas, karya seni tiga dimensi yang menjelaskan
mengenai kesetaraan antara karya seni dua dimensi dan karya seni tiga dimensi, serta
karya seni lainnya yang di luar ekspektasi kami. Hal itu membuat kami takjub karena
pemikiran-pemikiran dari para seniman yang benar-benar out of the box. Itulah
sebabnya seniman merupakan manusia yang memiliki level berbeda dari yang lainnya
karena mereka dituntut untuk selalu kreatif, bahkan pada hal yang tidak terpikirkan oleh
orang lain akan diangkat menjadi suatu karya seni yang bernilai tinggi.
Setelah merasa puas melihat instalasi-instalasi yang terdapat di dalam gedung,
kami kembali ke lantai satu dan keluar dari gedung perhelatan seni itu. Di luar gedung,
kami melihat ada gerai yang menjual minuman dengan nama unik, tetapi kami merasa
tidak ingin membeli karena kami membawa minuman sendiri. Pada sebelah gerai itu,
kami melihat sebuah panggung terbuka Biennale Jogja XV, yang secara kebetulan
terdapat diskusi yang sedang berlangsung. Kami tidak sempat melihatnya karena
keterbatasan waktu yang kami miliki. Setelah itu kami berjalan ke arah selatan
panggung terbuka yang menampilkan instalasi yang selalu memutar lagu dan video
mengenai Marsinah. Pada sebelah kiri instalasi Marsinah pun, terdapat karya seni yang
berada di bawah pohon beringin besar, yaitu seperti akar yang dibentuk sedemikian rupa
sehingga membentuk anyaman besar. Setelahnya, kami kembali menuju parkiran untuk
kembali ke rutinitas kami.
Menurut kami, mengunjungi pameran seni Biennale Jogja XV di Jogja National
Museum sangat mengasyikkan dan membuat kami bisa mengasah pikiran kami kembali
mengenai hal-hal yang berada di luar ekspektasi kami. Meskipun begitu, kami
menyayangkan pendingin ruangan yang tidak berfungsi dengan baik. Pada sebagian
besar instalasi, ruangannya terasa pengap dan panas. Kami memakai pakaian tipis saja
tetap bermandikan keringat. Lalu, kami juga menyayangkan sedikitnya sukarelawan yang berjaga sehingga untuk beberapa instalasi kami hanya menggunakan logika kami
untuk menebak maksud dari karya seni yang ditampilkan. Kami juga merasa bingung
perihal sistem dari distribusi informasi mengenai adanya Biennale Jogja XV. Apakah
Biennale Jogja XV ini hadir untuk masyarakat umum? Atau apakah Biennale Jogja XV
ini hadir untuk masyarakat tertentu? Hal itu berdasarkan pengamatan kami yang melihat
perhelatan seni Biennale Jogja XV seperti hanya dihadiri oleh kalangan dari mahasiswa,
orang-orang yang terlihat seperti seorang “akademisi”, atau orang yang hanya ingin
mengisi feed Instagram mereka. Entahlah, kami tidak tahu. Biennale Jogja XV benar-
benar sayang untuk dilewatkan karena menawarkan bentuk-bentuk pemikiran yang baru
untuk kita semua.
Kanaya Thiza Anandya & Prajna Paramitha
Comments