top of page
  • Black Instagram Icon

Biennale Jogja XV: Memahami Seni di Mata Khalayak

Biennale merupakan salah satu pameran seni rupa terbesar di Asia Tenggara.

Biennale tahun ini digelar di lima lokasi di Yogyakarta. Tahun ini, Biennale Jogja XV

mengusung tema “Equator” dengan tag line “Do We Live in The Same Playground?”.

Dalam paper ini, kami akan mengulas pameran Biennale Jogja XV yang berlokasi di

Jogja National Museum. Jogja National Museum sendiri berlokasi di Wirobrajan, Kota

Yogyakarta. Tempat ini berada di tengah pemukiman dan pasar warga, yang agak sulit

untuk ditemukan jika tidak ada gedung tinggi dengan tulisan “JNM” di dinding gedung

itu. Jalan yang kami lewati untuk mencapai JNM pun terkesan kumuh dan sedikit

berbau. Kami pikir hal ini terjadi karena adanya pasar tradisional. Saat memasuki

gerbang JNM, kami berhenti untuk membayar parkir sebesar Rp3.000 untuk satu motor.

Dalam lingkungan JNM sendiri, kami melihat banyak pohon beringin yang sangat besar

sehingga kami merasa sedikit merinding.


Saat hendak masuk ke dalam gedung yang menjadi tempat perhelatan karya seni

Biennale Jogja XV, kami disuguhkan dengan tumpukan sampah plastik yang dibentuk

sedemikian rupa sehingga terbentuklah karya seni yang terlihat estetik. Kami tidak

dapat memahami maksud dari karya seni tersebut karena tidak ada narasi yang

menjelaskan makna dari karya seni itu. Selain itu, tidak ada kurator ataupun

sukarelawan yang berjaga di sekitar karya seni dari tumpukan sampah plastik tersebut.

Setelah itu kami pun masuk ke dalam gedung dan mengisi daftar hadir yang telah

tersedia. Pada meja daftar hadir itu, terdapat beberapa suvenir yang dijual oleh pihak

penyelenggara Biennale Jogja XV. Suvenir ini terdiri dari guide book Biennale Jogja

XV, kalender 2020, dan sebagainya. Pada sebelah kiri meja daftar hadir, sesuai petunjuk

dari sukarelawan yang berjaga, terdapat instalasi pertama yang memperlihatkan potret

seseorang di tengah sawah menggunakan pakaian berwarna hitam putih garis-garis dan

terdapat pula video yang merekam orang yang berada di tengah sawah itu sedang

menari dengan gerakan lem gemulai.


Setelah itu, kami berpindah ke ruangan di sebelah kanan meja daftar hadir. Pada

ruangan ini, terdapat lebih banyak instalasi karya seni yang ditampilkan. Karya-karya

seni yang ditampilkan ada yang berupa benda tiga dimensi, gambar dua dimensi, dan

ada yang dalam bentuk film pendek. Di lantai satu, terdapat dua instalasi yang menurut

kami seram, sampai-sampai kami tidak berani masuk ke dalam kedua instalasi tersebut.

Kami hanya berani melihat isi dari kedua instalasi tersebut dari pintu instalasi tersebut.

Pada instalasi tersebut terdapat patung naga yang besar dan beberapa wayang

bergambar manusia yang juga berukuran besar. Entah mengapa kami merasakan aura

yang sangat mencekam di instalasi tersebut. Hal itu membuat kami memutuskan untuk

tidak masuk ke dalam instalasi tersebut dan melanjutkan kunjungan kami ke lantai dua.

Di lantai kedua, instalasi pertama yang kami kunjungi memuat sebuah film

pendek. Instalasi kedua yang kami kunjungi memuat sebuah ruangan yang dibentuk

seperti piramida berukuran panjang, yang di dalamnya ditempel beberapa foto yang

diambil pada masa lalu dan masa sekarang. Ruangan tersebut membuat kami sedikit

pusing karena pantulan cahaya dari kaca-kaca yang digunakan untuk membuat dinding

dalam ruangan tersebut. Setelah itu, kami mengunjungi instalasi yang memuat karya

dari Dian Suci Rahmawati. Pada instalasi tersebut memuat cerita tentang buruh-buruh

rumah yang dibayar murah, yang pada umumnya merupakan ibu-ibu rumah tangga.

Kami sangat menyayangkan orang-orang yang menjadikan instalasi ini sebagai

background untuk foto tanpa mengetahui makna dari karya yang dipajang pada instalasi

tersebut. Setelah itu, kami mengunjungi instalasi berikutnya yang memuat tentang

komunitas Bissu. Namun, kami tidak dapat memahami karya di dalam instalasi tersebut

lantaran karya yang termuat di dalam instalasi tersebut tidak menggunakan bahasa

Indonesia maupun huruf Latin, dan hanya memperlihatkan gambar-gambar. Pada

instalasi tersebut, kami juga harus menggunakan senter untuk melihat gambar-gambar

yang ditampilkan.


Selanjutnya kami mengunjungi instalasi yang memuat koleksi-koleksi kartu pos.

Karya dalam instalasi ini menggambarkan keprihatinan sang seniman terhadap kartu pos

yang sudah hampir tidak pernah digunakan oleh masyarakat. Hanya beberapa orang saja

yang masih mengoleksi kartu pos karena hobi. Selanjutnya, di lantai dua ini ada salah

satu instalasi yang menarik bagi kami, yaitu instalasi yang memuat foto orang-orang

yang duduk di sebuah bean bag dan menggunakan penutup kepala. Orang-orang

tersebut adalah para pekerja, baik pekerja di bioskop hingga pekerja di kampus yang

kerap tidak mendapatkan tempat untuk istirahat yang layak. Karya yang terdapat dalam

instalasi ini merupakan karya dari pendulum yang merupakan sebuah kolektif. Menurut

kami, hal yang menarik adalah bagaimana pendulum dapat memberikan perhatian

kepada para pekerja tersebut di saat banyak orang yang terkesan tidak peduli sama

sekali terhadap kondisi mereka. Bahkan, para pekerja tersebut terkadang diperlakukan

tidak enak (kurang manusiawi) oleh klien mereka. Pendulum mendefinisikan pekerja-

pekerja tersebut sebagai orang-orang yang juga termasuk dalam “pinggiran”. Hal yang

menarik perhatian kami adalah adanya bean bag yang berada di lantai setiap pondokan,

baik pada pondokan tangga atau luar instalasi, yang pada dindingnya tulisan

“#RestDon’tFear”.


Selanjutnya, kami mengunjungi lantai tiga gedung perhelatan seni ini. Pada

lantai tiga ini terdapat beberapa instalasi yang terkesan kotor karena dekorasi dalam

instalasi tersebut. Instalasi pertama yang kami kunjungi memuat film dokumenter dan

beberapa cangkul serta tanah. Kemudian, instalasi berikutnya memuat banner yang

berisi catatan harian tentang seorang seniman ketika Ia berada di dalam penjara.

Instalasi yang berikutnya memuat lukisan babat Bali dan di lantai instalasi tersebut

terdapat tulisan yang ditulis menggunakan kunyit bubuk. Kunyit bubuk inilah yang

membuat ruangan di instalasi tersebut berbau kunyit yang sangat menyengat. Kemudian

terdapat satu instalasi pada lantai tiga ini yang membuat kami enggan masuk karena

baunya yang sangat menyengat dan tidak enak. Instalasi tersebut berisi sebuah karya

seni yang terbuat dari tumpukan sampah plastik yang kami duga berasal dari laut karena

bau dari plastik tersebut berbau seperti ikan asin.


Pada perhelatan seni Biennale Jogja XV ini, kami melihat bahwa para seniman

mencoba untuk memperlihatkan sisi “pinggiran”, yang dalam hal ini masih sedikit

membingungkan. Hal itu berdasarkan dari pengamatan kami yang melihat bahwa tidak

semua karya seni merupakan orang-orang dari pinggiran yang termasuk dalam daerah

3T. Dalam pikiran kami sebelum melihat perhelatan seni Biennale Jogja XV ini, konsep

pinggiran adalah konsep di mana para seniman mengangkat karya seni berdasarkan

daerah-daerah 3T. Kami tidak menyangka bahwa beberapa seniman juga mengangkat

karya seni “pinggiran” yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya seperti karya seni

yang menampilkan potret dari pekerja-pekerja yang tidak mendapatkan tempat istirahat

yang layak, karya seni yang menampilkan gambaran dan kisah mengenai titik-titik

lemah laki-laki dalam bentuk seksualitas, karya seni tiga dimensi yang menjelaskan

mengenai kesetaraan antara karya seni dua dimensi dan karya seni tiga dimensi, serta

karya seni lainnya yang di luar ekspektasi kami. Hal itu membuat kami takjub karena

pemikiran-pemikiran dari para seniman yang benar-benar out of the box. Itulah

sebabnya seniman merupakan manusia yang memiliki level berbeda dari yang lainnya

karena mereka dituntut untuk selalu kreatif, bahkan pada hal yang tidak terpikirkan oleh

orang lain akan diangkat menjadi suatu karya seni yang bernilai tinggi.


Setelah merasa puas melihat instalasi-instalasi yang terdapat di dalam gedung,

kami kembali ke lantai satu dan keluar dari gedung perhelatan seni itu. Di luar gedung,

kami melihat ada gerai yang menjual minuman dengan nama unik, tetapi kami merasa

tidak ingin membeli karena kami membawa minuman sendiri. Pada sebelah gerai itu,

kami melihat sebuah panggung terbuka Biennale Jogja XV, yang secara kebetulan

terdapat diskusi yang sedang berlangsung. Kami tidak sempat melihatnya karena

keterbatasan waktu yang kami miliki. Setelah itu kami berjalan ke arah selatan

panggung terbuka yang menampilkan instalasi yang selalu memutar lagu dan video

mengenai Marsinah. Pada sebelah kiri instalasi Marsinah pun, terdapat karya seni yang

berada di bawah pohon beringin besar, yaitu seperti akar yang dibentuk sedemikian rupa

sehingga membentuk anyaman besar. Setelahnya, kami kembali menuju parkiran untuk

kembali ke rutinitas kami.


Menurut kami, mengunjungi pameran seni Biennale Jogja XV di Jogja National

Museum sangat mengasyikkan dan membuat kami bisa mengasah pikiran kami kembali

mengenai hal-hal yang berada di luar ekspektasi kami. Meskipun begitu, kami

menyayangkan pendingin ruangan yang tidak berfungsi dengan baik. Pada sebagian

besar instalasi, ruangannya terasa pengap dan panas. Kami memakai pakaian tipis saja

tetap bermandikan keringat. Lalu, kami juga menyayangkan sedikitnya sukarelawan yang berjaga sehingga untuk beberapa instalasi kami hanya menggunakan logika kami

untuk menebak maksud dari karya seni yang ditampilkan. Kami juga merasa bingung

perihal sistem dari distribusi informasi mengenai adanya Biennale Jogja XV. Apakah

Biennale Jogja XV ini hadir untuk masyarakat umum? Atau apakah Biennale Jogja XV

ini hadir untuk masyarakat tertentu? Hal itu berdasarkan pengamatan kami yang melihat

perhelatan seni Biennale Jogja XV seperti hanya dihadiri oleh kalangan dari mahasiswa,

orang-orang yang terlihat seperti seorang “akademisi”, atau orang yang hanya ingin

mengisi feed Instagram mereka. Entahlah, kami tidak tahu. Biennale Jogja XV benar-

benar sayang untuk dilewatkan karena menawarkan bentuk-bentuk pemikiran yang baru

untuk kita semua.


Kanaya Thiza Anandya & Prajna Paramitha

 
 
 

Recent Posts

See All

Comments


HitamPutih.jpg

Thanks for submitting!

Department of Anthropology

Faculty of Cultural Sciences

Universitas Gadjah Mada

  • Black Facebook Icon
  • Black Instagram Icon
  • Black Pinterest Icon
  • Black Twitter Icon

2019 The Human Stories

bottom of page