top of page
Search

Biennale Jogja – Indonesia Bersama Asia Tenggara: Menyangkal Asumsi Periferal

Updated: Nov 27, 2019

Oleh: Adinda Dwi Safira & Tunggul Bawono Mukti Wahyutomo





Biennale dan Jogjakarta itu Sendiri


Masyarakat Indonesia mana yang asing dengan kata “Jogjakarta”? Apalagi jika konteks khususnya adalah masyarakat pulau Jawa dan Bali. Pertanyaan yang kami lontarkan di atas tadi mencoba menggambarkan kepada khalayak luas bahwasannya Jogjakarta merupakan kota yang amat ikonik di Indonesia. Ikonik yang kami maksud di sini ialah unik dalam hal aspek budaya, kesenian, tradisi serta keunikan kehidupan masyarakatnya. Tak ayal, Jogjakarta menjadi daya tarik tersendiri di baik kalangan masyarakat Indonesia maupun mancanegara.


Dari sekian banyak hal-hal unik yang ditawarkan oleh Jogja, kami di sini mencoba untuk berfokus pada satu keunikan dengan mengambil aspek kesenian yang ada di Jogja. Betapa bersyukurnya kami ketika menyadari bahwa keberagaman seni di Jogja yang notabene merupakan hasil dari kreativitas masyarakatnya, terwadahi secara baik dalam medium-medium seperti pameran, pertunjukan kesenian dan lain sebagainya. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan banyak diselenggarakannya acara kesenian (baik itu berupa pameran maupun pertunjukan), baik tradisional maupun modern. Dan Biennale Jogja XV adalah salah satu dari sekian banyak contoh acara kesenian yang bakal kami ulas di kesempatan kali ini.


Biennale Jogja XV merupakan salah satu dari sekian banyak wadah/medium dengan konsep pameran. Namun, hal yang luar biasa bagi kami ialah bahwa Biennale Jogja XV menampung karya dan kreativitas para seniman, baik seniman Jogja hingga luar Jogja dan mancanegara. Kebetulan Biennale Jogja XV memasuki edisi kelima dari serial gagasan khatulistiwa yang dicanangkan sejak tahun 2010. Walaupun begitu, secara keseluruhan Biennale kali ini bertajuk Biennale Jogja XV (lima belas). Pameran ini diselenggarakan di empat lokasi yang berbeda, yakni Jogja National Museum, Taman Budaya Yogyakarta, Kampung Ketandan, dan Gedung PKKH UGM. Biennale Jogja XV tak hanya mengusung karya seni lokal, namun secara luar biasa mampu berkolaborasi dengan seniman mancanegara (Asia Tenggara). Dalam kolaborasi ini muncullah gagasan “Do We Live in the Same Playground?”. Secara unik, tulisan tersebut dipaparkan dalam bentuk tulisan lewat medium tembok. Konsep pameran ini berfokus pada isu-isu seputar kehidupan pinggiran. Isu-isu kehidupan pinggiran inilah yang membuat kami tertarik untuk mengulasnya secara lebih mendalam berdasarkan pertimbangan kami yang telah mengunjungi sekaligus mengobservasi pameran tersebut.


Kami berdua memutuskan untuk mengunjungi (kami menyebutnya sebagai paket komplit observasi dan apresiasi) Biennale Jogja XV yang ada di Taman Budaya Yogyakarta atau biasa disebut dengan TBY. Saat pertama kali kami menginjakkan kaki di TBY, pemandangan yang berupa sepi terhampar dalam pandangan masing-masing dari kami. Namun, hal tersebut sudah kami duga sejak awal sebelum keberangkatan ke lokasi. Hal ini tentu berbeda dengan Biennale yang ber-venue di JNM (Jogja National Museum) yang bisa dikatakan dan memang tergolong ramai bila dibandingkan dengan venue Biennale yang ada di TBY. Perbedaan kondisi ini mungkin terjadi karena animo masyarakat yang cenderung lebih tertarik pada venue yang bisa dibilang instagramable, dan hal ini bagi kami wajar karena venue Biennale di JNM lebih terlihat estetik dan mungkin jauh dari sesuatu yang menjemukan apabila dibandingkan dengan venue di TBY. Walaupun begitu, masing-masing dari kami mencoba memanfaatkan kesempatan kunjungan ke Biennale ini dengan sebaik-baiknya.


Asia Tenggara dan Asumsi Periferal


Tikar-tikar dengan anyaman tali raffia membentang di sudut kanan hall Taman Budaya Yogyakarta. Anyaman tersebut membentuk sebuah gambar-gambar kultural yang merepresentasikan Asia Tenggara. Namun, seniman Popok Tri Wahyudi menggambarkan bukan Asia Tenggara yang dipikirkan oleh orang-orang awam: terpencil, negara-negara berkembang, dan pinggiran. Justru ia menolak tema-tema tersebut untuk dijadikan sebagai karakteristik Asia Tenggara karena menurutnya sangat bertolak belakang dengan fakta bahwa dilalui oleh garis khatulistiwa sehingga merupakan posisi yang strategis, entah itu secara geografis, iklim, lingkungan, vegetasi, maupun kebudayaannya.



Sumber foto: Della Ade Saputri


Julukan pinggiran yang sudah digaungkan sejak lama akhirnya membawa masyarakat Indonesia sebagai negara yang termasuk di dalamnya menjadi merasa rendah diri. Hal ini bisa saja dipengaruhi oleh jejak-jejak kolonialisme yang masih ada di penjuru Indonesia. Fakta bahwa kita pernah dijajah oleh bangsa-bangsa Eropa membuat kita masih berpikir bahwa kita masih sebodoh ketika mereka datang beratus tahun yang lalu. Dan akhirnya, sampai saat ini, kita merasa bahwa orang-orang Barat lebih superior dari kita. Kita masih bodoh. Tapi apakah benar begitu?


Di balik semua isu pinggiran yang ditampilkan dalam instalasi-instalasi lain dari negara-negara Asia Tenggara lainnya, seniman dari Indonesia justru ingin “menjual” diri mereka sekaligus menunjukkan penolakan terhadap asumsi pinggiran itu sendiri. Popok Tri Wahyudi salah satunya, bahkan secara gamblang mengatakannya dalam narasi karyanya.


’65 dalam Kaleng


Sebuah instalasi yang diinisiasi oleh Studio Malya berjudul Have You Heard it Lately? ini mencoba membingkai mengenai tragedi kemanusiaan 1965. Instalasi tersebut terdiri dari 64 kaleng yang berisi audio-audio yang sebagian besar didapat dari hasil wawancara dengan kolaborator-kolaborator dari berbagai kalangan usia dan belahan dunia untuk menelusuri pengupayaan jejak-jejak rekonsiliasi di ranah kultural dan struktural. Hal ini bertujuan untuk menghadirkan kembali narasi-narasi yang terbit-tenggelam­-terbit-tenggelam soal peristiwa genosida ini—berikut isu-isu di baliknya—di tengah hiruk pikuk dinamika masyarakat, terutama generasi terkini. Audio-audio tersebut berupa wawancara dari pengalaman pribadi yang dialami oleh pihak keluarga korban, pengalaman pribadi sebagai saksi mata, hasil riset akademis, dan bentuk lainnya seperti dalam satu kaleng, sebuah instrumen memilukan terputar sebagai representasi atau reaksi atas peristiwa tersebut.



Sumber foto: Akhodza Khiyaaroh


Dalam salah satu kaleng lain, seorang perempuan menarasikan reaksinya atas tragedi kemanusiaan 1965 melalui cerita perjalanan yang ia lakukan di Jerman. Kedua tragedi tersebut memang merupakan dua buah perbandingan yang cukup tepat. Keduanya sama-sama merupakan sebuah peristiwa genosida yang terjadi pada suatu golongan tertentu dan bagi kedua negara asalnya—Indonesia dan Jerman—tragedi tersebut merupakan sebuah “luka lama” atau bahkan bagi beberapa masyarakatnya diartikan sebagai dosa yang memalukan. Namun, sebagian masyarakat lainnya justru berbangga atas peristiwa tersebut. Di kasus tragedi kemanusiaan 1965 pun juga begitu. Sampai saat ini, banyak orang-orang yang justru berbangga diri atas perbuatan yang mereka lakukan kepada korban-korban terduga anggota PKI. Dalam film dokumenter berjudul Jagal—serta sequel-nya Senyap karya Joshua Oppenheimer ditunjukkan para preman yang terbilang anggota ormas Pemuda Pancasila yang ikut serta dalam pembantaian masal sekitar tahun 1965 sampai 1966 dengan bangga menceritakan bagaimana eksekusi tersebut terjadi, dengan gelak tawa dan senyuman.


Hingga kemudian ada hal unik yang kemudian kami tangkap dalam instalasi ini, yakni adanya satu telpon rumah “jadul” berwarna merah yang jika dicermati merupakan perwakilan ataupun penggenapan dari keseluruhan instalasi kaleng yang berjumlah 65 tersebut. Telepon tersebut dinisiasi oleh Studio Malya dan kami menganggapnya sebagai sebuah usaha dari Studio Malya untuk memberi kesempatan bagi para pengunjung supaya dapat menyuarakan aspirasinya terkait tragedi 65, namun tak menutup kemungkinan perihal aspirasi di ranah lainnya.


Konsep kaleng-kaleng yang tergantung dan sebuah telepon rumah merupakan sebuah kejeniusan. Audio-audio tersebut kami rasa sengaja dikonsepkan dalam kaleng-kaleng tersebut—mengarah pada bentuk komunikasi di masa kecil dengan menggunakan dua kaleng yang terhubung dengan benang—sebagai makna lain agar diskusi dan komunikasi mengenai topik peristiwa pada 1965 ini tetap terjalin pada masyarakat sekarang. Begitu juga dengan telepon umum tersebut, dimaksudkan pada kebebasan berpendapat dan mengangkat kepedulian dalam diri masing-masing mengenai permasalahan bangsa-negara.


Pasca mengunjungi instalasi kaleng tersebut, kami mendapatkan suatu bentuk impresi bahwa ternyata elemen masyarakat Asia Tenggara khususnya Indonesia, tak bisa dikatakan begitu saja sebagai wilayah yang tertinggal. Studio Malya mencoba membantah anggapan ini dengan menarasikan jika masih ada orang-orang yang mau dan kritis ketika menyuarakan pendapat ataupun aspirasinya.


Indonesia di Tangan Usmar Ismail


Tulisan “Cinema Tenggara” terpasang di suatu bilik kecil di ujung kanan hall TBY. Dengan bekerjasama dengan Festival Film Dokumenter, Biennale mencoba mengajak para pengunjung untuk menikmati Indonesia melalui film-film Usmar Ismail, 3 Dara (1956) dan Darah dan Doa (1950). Dua film tersebut merupakan karya-karya Usmar Ismail yang memang banyak dikenal oleh orang. Darah dan Doa sendiri adalah film debut beliau. Untuk 3 Dara, dikenal sebagai awal aktifnya perjuangan karir beliau di bidang perfilman.






Sumber foto: en.wikipedia.org & https://i.pinimg.com/

Pada tahun rilisnya Darah dan Doa, Indonesia masih berada pada tahun kelimanya pasca merdeka dari kolonialisme. Walaupun dalam suatu wawancara Usmar Ismail sendiri tidak bisa dibilang puas dengan film tersebut, Darah dan Doa mampu menaikkan standard film Indonesia. Enam tahun setelahnya, produksi 3 Dara dimulai. Film ini merupakan tanda kesuksesan karir beliau. Melalui premis komedi-romantis, beliau mencoba mengurangi dan mengubah pola perfilman Indonesia yang masih berorientasi dan meromantisasi masa penjajahan—tergolong sebuah gerakan yang berani. Perubahan tersebut kemudian berhasil membawanya ke Venice Film Festival.


Penyangkalan Terhadap Asumsi Pinggiran


Di balik isu-isu terpinggirkan yang diangkat oleh seniman-seniman di TBY, seniman Indonesia tampil dengan gagah menunjukkan penolakan terhadap asumsi pinggiran itu sendiri. Popok Tri Wahyudi salah satunya, bahkan secara gamblang mengatakannya dalam narasi karyanya. Bilik screening kecil milik FFD pun seperti ingin menunjukkan berontak yang sama. Melalui film Usmar Ismail, mereka seperti ingin berbicara; “Negara terpinggirkan seperti apa yang sudah berstandard seperti itu industri perfilm-annya?


Pasca mengunjungi instalasi kaleng dan telepon dari Studio Malya, kami juga mendapatkan suatu bentuk impresi bahwa ternyata elemen masyarakat Asia Tenggara khususnya Indonesia, tak bisa dikatakan begitu saja sebagai wilayah yang tertinggal. Studio Malya mencoba membantah anggapan ini dengan menarasikan jika masih ada orang-orang yang mau dan kritis ketika menyuarakan pendapat ataupun aspirasinya. Diskusi dan pembicaraan soal konflik politik di Indonesia masih kerap dilakukan. Political awoke sudah menggelombang di berbagai kalangan dan usia, terutama pada anak muda. Pekuliaritas dan pelarangan berbicara hal-hal “tabu” seperti komunis jarang lagi ditemukan pada generasi kini. Padahal justru generasi masa kini lah yang sudah seharusnya bergerak untuk “me-melek-kan” orang-orang tua .


Tanpa mengurangi rasa hormat serta apresiasi terhadap yayasan Biennale Jogja khususnya venue yang ada di Taman Budaya Yogyakarta, kami merasa bahwa setidaknya Biennale Jogja XV ini sudah mampu menunjukkan upayanya untuk meyuarakan bahwa isu keterpinggiran ini merupakan sesuatu hal yang layak diperbincangkan, dikaji maupun didiskusikan baik dalam forum akademisi maupun non-akademik. Walaupun dalam penyelenggaraannya masih terdapat kekurangan, Biennale sudah mampu membuat suatu ekosistem seni yang baik, di mana di pameran seni lain biasanya hanya mempertontonkan keindahan yang hanya bersifat estetis namun ternyata kurang secara makna dan pesan-pesan.


Meskipun begitu, interpretasi kami bukanlah sesuatu yang sudah final. Selain kami bukanlah pakar yang sesungguhnya dalam hal penginterprestasian karya-karya seniman, interpretasi bisa beragam. Setidaknya ini dapat dijadikan suatu bahan pembandingan dengan hasil interpretasi dengan seniman yang bersangkutan.


Seperti yang Picasso katakan, memahami seni adalah seperti memahami nyanyian burung. Kalian bisa saja mendapatkan lullaby dari nyanyian itu atau justru kalian mendapatkan nyanyian selamat pagi dari burung[].



Daftar Pustaka


2019, Biennale Jogja XV. 2019. Guide-Book Biennale Jogja XV/2019 Do We Live in the Same Playground? Jogja. Yogyakarta, Yayasan Biennale.

2019. Biennale Jogja XV 2019. Diakses November 2019. https://biennalejogja.org/2019/

Art as a Cultural System in: Modern Language Notes (Baltimore/Md./USA: The John Hopkins Press), vol. 91 no. 6 (1976), pp 1473-1499.

19 views0 comments

Recent Posts

See All

Obi: Volunteering Adalah Momentum Pengembangan Diri

(Oleh Haerunnisa dan Nanda Sazkya) Tergabung menjadi seorang volunteer atau relawan adalah sebuah hal yang sering kali dan umum dilakukan. Membantu dengan sukarela, meluangkan waktu dan kemampuan sert

MEMAHAMI SITUASI PINGGIRAN LEWAT PERAN FISIK MANUSIA

Oleh Gabriel Dania Rekalino Kandolia Ajang pameran seni rupa Biennale Jogja XV 2019 dilaksanakan secara tersebar di beberapa lokasi di Yogyakarta pada 20 Oktober-30 November 2019. Tahun ini, Biennale

bottom of page