top of page
Search
  • Writer's pictureHae

Berbicara Pinggiran Lewat ‘Mengandung Plastik’


Biennale Jogja XV Equator #5

Biennale Jogja (BJ) merupakan sebuah perhelatan besar seni rupa yang digelar setiap dua tahun. Keberadaan Biennale Jogja hingga saat ini sudah mencapai tiga dasawarsa sejak penyelenggaraan pertamanya sejak tahun 1988. Jika dilihat berdasarkan sejarahnya sejak penyelenggaraan pertamanya hingga tahun ini, Biennale Jogja dapat dikatakan sebagai perhelatan besar seni rupa yang rutin dan cukup konsisten keberadaannya di Indonesia. Sebelum diberi nama Biennale, dahulunya merupakan Pameran Seni Lukis Yogyakarta pada tahun 1983, 1985, 1986, dan 1987 di Taman Budaya Yogyakarta. Memasuki diselenggarakannya pameran pada tahun 1988, Pameran Seni Lukis Yogyakarta tersebut berganti nama menjadi Biennale Seni Lukis Yogyakarta hingga tahun 1994. Pada tahun 1997, nama Biennale Seni Lukis Yogyakarta berganti nama menjadi Biennale Seni Rupa Yogyakarta hingga tahun 1999. Mulai tahun 2003, nama Biennale Seni Rupa Yogyakarta mempersingkat namanya dengan Biennale Jogja (BJ).


Tahun 2019 ini, Biennale Jogja XV Equator #5 menggandeng negara-negara kawasan Asia Tenggara dengan mengusung tema ‘Pinggiran’ serta tagline “Do We Live in the Same Playground?”. Biennale Jogja yang diselenggarakan oleh Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) ini dilaksanakan mulai tanggal 20 Oktober hingga 30 November 2019. Acara kali ini dilaksanakan di beberapa tempat yang berbeda, diantaranya adalah PKKH UGM, Jogja National Museum, Taman Budaya Yogyakarta, Jalan Ketandan Kulon 17, Helutrans Art Space, dan Kampung Jogoyudan. Berdasarkan tema yang diangkat pada tahun ini, Biennale Equator #5 berusaha menunjukkan mengenai bagaimana pinggiran mengekspresikan dirinya dan membicarakan narasi atau persoalan tentang dirinya sendiri. Selain itu, acara ini berusaha membicarakan mengenai isu-isu, praktik hidup atau subjek yang tidak atau belum menjadi wacana akademis, kebijakan publik, dan wacana media, serta masalah relasi kuasa.



Kolaborasi Karya Seni Muhammad Ridwan Alimuddin dengan Tactic Plastic

Karya seni yang ditujukan Biennale Jogja Equator #5 tersebut secara garis besar memang sesuai dengan tema besar yang diangkat tahun ini, yaitu mengenai isu-isu pinggiran. Di antara banyaknya karya seni rupa yang ditampilkan dalam instalasi-instalasinya, terdapat sebuah karya seni yang menarik perhatian kami, yaitu karya seni dari Muhammad Ridwan Alimuddin yang lokasi instalasinya terdapat di lantai 3 Jogja National Museum. Muhammad Ridwan Alimuddin atau yang lebih akrab disapa Iwan merupakan seorang pelestari kebudayaan yang berasal dari Mandar, Sulawesi Barat. Iwan merupakan seorang penulis, fotografer, jurnalis, fixer film dokumenter, dan pustakawan. Pria kelahiran Tinambung, 23 Desember 1978 ini merupakan lulusan dari jurusan kelautan dan perikanan UGM dan juga penulis buku yang membahas mengenai laut. Iwan banyak terlibat dalam proyek-proyek penulisan buku dan dokumenter, khususnya dengan tema-tema tentang kehidupan di wilayah pesisir.


Kolaborasi karya seninya dengan kelompok Tactic Plastic yang diberi judul ‘Mengandung Plastik’ ini ditampilkan dalam Biennale Jogja Equator #5. Karya seni ini ditampilkan sebagai usaha dalam merespons persoalan di Desa Pambusuang, Sulawesi Barat. Di desa tersebut, persoalan mengenai sampah terbilang terlampau cukup pelik, hal ini dapat dikatakan sangat kontras jika dihadapkan dengan sistem kepercayaan masyarakatnya terhadap laut. Masyarakat Pambusuang merupakan masyarakat yang sangat mengagungkan laut sebagai tempat mereka mencari penghidupan, percaya pada berbagai jenis mitos mengenai laut, yaitu sebagai sesuatu yang tidak bisa sepenuhnya mereka taklukkan. Sedangkan di sisi lain, masyarakat Pambusuang juga gemar membuang sampah di laut. Karya seni ini juga menghubungkan persoalan sampah plastik dengan salah satu tradisi tahunan masyarakat setempat, yaitu perburuan telur ikan terbang.



‘Mengandung Plastik’

Instalasi karya seni ini cukup menarik perhatian para pengunjung, dilihat dari benda-benda yang berada di dalamnya dan juga aroma yang tidak sedap yang mengisi ruangan instalasi tersebut. Aroma tidak sedap tersebut sesuai dengan maksud dan tujuan yang ingin disampaikan oleh penciptanya, yaitu persoalan membuang sampah plastik dengan tradisi tahunan perburuan telur ikan terbang. Aroma tidak sedap tersebut jika digambarkan memiliki aroma yang sangat amis dan juga bikin mual, yang mana hal ini menjadi salah satu alasan dari pengunjung yang enggan memasuki instalasi tersebut. Saat kami berada di dekat instalasi tersebut dan sedikit mengamatinya, cukup banyak dari pengunjung yang hanya ‘sesaat’ saat memasuki instalasi tersebut. Saat mereka keluar dari instalasinya, banyak juga beberapa pengunjung yang terlihat seperti habis menahan napas dan mengipas-ngipaskan tangannya di depan hidungnya masing-masing.


Di dalam instalasi karya seni rupa tersebut terdapat sekitar 12 bangkai ikan dan 21 sampah kantong plastik yang menggantung di langit-langit instalasi. Selain itu, terdapat benda yang cukup besar dan berbentuk abstrak yang juga menggantung di langit-langit instalasi. Jika dilihat dari bentuknya, dapat ditarik kesimpulan bahwa benda tersebut menggambarkan kumpulan dari sampah-sampah yang sering dibuang ke laut oleh masyarakat Pambusuang. Dari bentuknya yang abstrak tersebut terlihat dengan jelas sampah kantong plastik dari salah satu supermarket, dan sebagainya. Tidak hanya itu, di lantai instalasi tersebut juga terdapat banyak kumpulan sampah dari kantong plastik dan juga terdapat sampah seperti kayu atau bambu yang mungkin digunakan untuk menangkap ikan atau sebagai alat untuk membuat saluran air menjadi lancar.



Berbicara Pinggiran ‘Lewat Mengandung Plastik’

Berbicara mengenai pinggiran, memang tidak selalu mengenai batas. Namun, dalam setiap hal yang ada dan terjadi di dunia pasti memiliki batasan yang akhirnya mau tidak mau menjadi sebuah pemisah. Begitu juga dengan karya yang ditunjukkan oleh Muhammad Ridwan Alimuddin ini, kami tertarik untuk mencari tahu lebih lanjut alasan dibalik pemilihan objek yang digunakan untuk merepresentasikan pinggiran dan batas pinggiran mana yang sebenarnya ia tuju. Serta bagaimana pinggiran yang ia maksud sampai kepada pengunjung.



Sumber :

● Brosur Biennale Jogja XV Equator #5 2019

● Guide Card Biennale Jogja XV Equator #5 2019

89 views0 comments

Recent Posts

See All

Obi: Volunteering Adalah Momentum Pengembangan Diri

(Oleh Haerunnisa dan Nanda Sazkya) Tergabung menjadi seorang volunteer atau relawan adalah sebuah hal yang sering kali dan umum dilakukan. Membantu dengan sukarela, meluangkan waktu dan kemampuan sert

MEMAHAMI SITUASI PINGGIRAN LEWAT PERAN FISIK MANUSIA

Oleh Gabriel Dania Rekalino Kandolia Ajang pameran seni rupa Biennale Jogja XV 2019 dilaksanakan secara tersebar di beberapa lokasi di Yogyakarta pada 20 Oktober-30 November 2019. Tahun ini, Biennale

bottom of page