top of page
Search

Berbicara Hidayah dan Seksualitas Bersama Mas Yosep Arizal


Oleh Brezzy Smith dan Figo Nugraha


Siang itu kami menempuh perjalanan menuju Jogja daerah Selatan. Kami tiba di Desa Jurug dan disambut oleh suasana yang tenang dan hamparan sawah yang hijau. Di tengah-tengah itu terdapat suatu art space bernama Redbase Foundation. Di sana seorang seniman muda bernama Mas Yosep menunggu kedatangan kami. Sesampainya kami di sana dan memasuki gerbang bambu, kami langsung disambut oleh senyuman lebar Mas Yosep. Meski itu kali pertama kami berjumpa dengannya, kami sudah merasakan bahwa Mas Yosep adalah orang yang santai, terbuka, dan mudah diajak berbicara. Ketika kami menghubunginya melalui whatsapp beberapa hari sebelumnya, ia selalu menjawab pertanyaan kami dengan panjang lebar, dihiasi emoji, dan tentunya dengan bahasa yang menunjukkan keterbukaan. Dengan satu tangan di dalam kantong celana pendeknya, ia mempersilahkan kami masuk.


Lulus dari Institut Seni Indonesia pada tahun 2016, Mas Yosep Arizal mulai aktif kembali memasukkan karyanya dalam pameran-pameran seni di tahun 2018 kemarin. Salah satu pameran tersebut adalah Biennale Jogja 2019 dimana kami bertemu dengan karyanya dan jatuh hati. Karya itu berjudul “Tanggalan Barohiwiyah”, memikat perhatian kami karena perpaduan unsur seksualitas dan kepercayaan Jawa kuno yang diterapkan di dalamnya. Melalui karya ini, Mas Yosep memberi narasi tandingan atas kitab Primbon Jawa yang membicarakan penanggalan dan petunjuk memuaskan wanita dengan cara menyentuh 15 bagian tubuh tertentu selama 15 hari untuk dirangsang sebelum akhirnya dilakukan hubungan seks di hari terakhir. Dengan tradisi patriarkis Jawa Islam, tentunya semua kitab ditulis oleh laki-laki, termasuk buku ini yang membicarakan seksualitas dan kepuasan tubuh wanita.


"Tubuh perempuan tak henti-hentinya dijadikan bahan eksploitasi dalam kesenian, entah untuk lukisan, patung, dan lain lain", tuturnya. Oleh karena itulah teks tandingan ini memutar balikan posisi sehingga teks seolah ditulis oleh perempuan dan dari sudut pandang perempuan, dengan laki-laki sebagai objek tatapannya. Ketika kami tanyakan mengenai latar belakang di balik “Tanggalan Barohiwiyah” dan isu yang dibahas, Mas Yosep menjawab bahwa ia tidak memiliki alasan khusus yang berkaitan dengan pengalaman. Pembuatan karyanya murni dari pribadi dia karena memang ia suka membicarakan dan bermain-main dengan isu-isu seksual. “Seks itu penting, namun orang menyepelekannya”, jelasnya. “Yang lebih aneh adalah orang-orang engga mau ngomongin tentang seks.” Hal tersebut juga dilanggengkan oleh media-media arus utama yang juga jarang menyentuh topik seksualitas, padahal topik tersebut tak harus berkonotasi “jorok”, alih-alih justru edukatif dan berguna. “Di media pun mungkin karya-karya seperti punya saya engga akan dimuat, karena terlalu nyeleneh”. Ujarnya dengan tawa pahit.


Berbicara tentang sifat kaku mayoritas orang yang mengelilingi topik seks, kami bertanya mengenai reaksi-reaksi pengunjung terhadap karya Mas Yosep Arizal. Ia menceritakan bahwa ada satu reaksi pengunjung yang membekas karena meminta untuk karya “Tanggalan Barohiwiyah” diturunkan segera. Alasannya adalah karena karyanya memiliki instalasi yang menurut pengunjung tersebut menyerupai Hajar Aswad, dan dianggap tidak patut disandingkan bersama gambar-gambar telanjang. Di dalam hati kami melakukan “face-palm emoji” ketika mendengar hal itu. “Dan saya pun tidak bertujuan membuat Hajar Aswad, melainkan Yoni. Karena Yoni adalah simbol dari vagina Ilahiah.” Begitu lah yang dijelaskan oleh Mas Yosep Arizal sembari tiap detik berlalu kami makin larut dalam karya dan cerita-ceritanya.


Unsur-unsur agama, kepercayaan Jawa, dan keterbukaan Mas Yosep dalam membahas seksualitas membuat kami bertanya-tanya mengenai latar belakang Mas Yosep yang mengantarkannya menjadi sosok dirinya yang sekarang, terlebih keluarganya. Ia tumbuh di Lumajang dan lulusan pesantren. Di desanya budaya Jawa masih kental, bahkan mungkin jauh lebih kental dibandingkan wilayah Madura lainnya. Tradisi yang hanya dilakukan oleh Keraton di Jogja pun tetap dilakukan di desa Mas Yosep. Salah satu contoh ialah hampir setiap bulan satu desa memasak sesuatu dalam rangka hari besar Islam maupun tanggalan Jawa. contohnya, bubur putih untuk bulan Suro atau nasi kuning tumpeng untuk Maulid Nabi. Mas Yosep dibesarkan oleh lingkungan dan tradisi seperti itu, setelah makanan jadi ia pun menyaksikan para tetangga menukarkan makanan mereka satu dengan yang lain. Islam di sana “NU” dan cenderung bercampur dengan ritual dan kepercayaan Kejawen, meski mereka tidak berpatok dengan label, hanya meneruskan apa yang diajarkan oleh leluhur. Keluarga Mas Yosep pun memiliki koleksi buku Primbon, karena itulah karyanya "Tanggalan Barohiwiyah" dapat lahir.


“Dengan latar belakang pesantren gitu, keluarga gimana reaksinya lihat karya Mas Yosep?”, kami bertanya, penasaran dengan ada tidaknya pengaruh background pesantren kepada penerimaan mereka terhadap karya Mas Yosep. Mas Yosep tertawa dan mengganti posisi duduknya, terlihat sedikit tidak nyaman menjawab pertanyaan kami "Keluargaku kan ga pernah ke Jogja", hahahahah tambahnya, diikuti pula dengan senyum paitnya. Udara sedikit menggantung beberapa detik, "kalaupun tau heee biarin ajah.” ujarnya sambil tertawa apa adanya.




Mas Yosep dengan latar belakangnya sebagai lulusan sekolah pesantren bergurau bahwa berkuliah di ISI ia anggap sebagai “hijrah” dan masa-masa di mana ia mendapatkan hidayah. Semester satu ia masih rajin sholat dan menjadi anak kesayangan ibu dan bapak kost, bahkan beberapa kali ditawarkan untuk membacakan adzan. Hal-hal seperti hafal Al-Quran dan membacanya dengan merdu menjadi prestasi nomor satu yang dibanggakan di desa asalnya di Lumajang, prestasi duniawi tak ada yang menandingi. Namun seiring waktu berjalan selama masa rantaunya di Jogja, Mas Yosep pun lambat laun mendapat apa yang ia sebut sebagai “hidayah”. Mengacu kepada perubahan gaya hidup yang amat kontras dengan gaya hidup sebelumnya. Kita tertawa bersama karena pemilihan kata Mas Yosep dan juga sifat relatable ceritanya tentang perubahan yang dialami di masa kuliah.


Kami sendiri juga merasa mendapat “hidayah” dengan makin terbukanya pikiran kami di perkuliahan dengan semakin banyaknya ilmu yang diajarkan kepada kami. Memang kami rasa hal itu suatu hal yang patut disyukuri, yaitu kemampuan untuk menerima berbagai perbedaan dan menghargai pilihan hidup orang. Salah satu hal itu ialah seksualitas dan betapa pentingnya untuk merubah shame and silence yang mengelilingi topik tersebut. Seperti yang Mas Yosep sudah bilang, seks itu penting, dan menuturkan kata-kata tersebut tak seharusnya berkonotasi saru ataupun ngeres. Karena seks memang bagian dari kehidupan manusia dan dengan makin adanya ruang diskusi yang terbuka, makin terbuka pula ruang untuk topik-topik penting lainnya seperti boundaries, kesehatan reproduksi, dan pengalaman seks yang positif yang patut diketahui banyak orang dari kalangan manapun.


Kami penulis melihat adanya makna konsep, ‘seks’, dan ‘pornografi’ yang saling berkaitan. Secara sosiologis, konsep seks meng-‘ada’ dalam kehidupan manusia dengan pemaknaan yang berbeda-beda, sejalan dengan zeitgeist (jiwa zaman) masing-masing. Misalnya, di abad pertengahan, seks dipandang sebagai sesuatu yang suci, privat, dan sakral. Namun di zaman modern, seks telah mengalami pergeseran makna yang tidak selamanya dianggap sakral lagi. Kajian tentang seks ini, banyak terkait dengan dimensi ‘ketubuhan’. Adapun Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia(1988:696), pornografi dimaknai sebagai penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu berahi, atau bahan yang dirancang dengan sengaja dan semata-mata untuk membangkitkan nafsu berahi. Senada dengan pemaknaan tersebut, Webster New World Encyclophedia (1992) mendefinisikannya sebagai berikut, “Pornography obsence literature, picture, photos, or films of no artistic merit, intended only to arose sexual desire.


Konsep ini lah yang melanggengkan perspektif di masyarakat, dimana hanya melihat seksualitas yang berhubungan dengan pembangkitan nafsu birahi. Yosep sendiri mengenai karyanya terakhir mampu mempertemukan kita dengan perspektif baru terlebih perempuan , dengan pembolak-balikan objektivitas yang digabung oleh kitab keluarganya tersebut “primbon“.


Siang itu obrolan kami dengan mas Yosep sangat santai sekali, mampu membuat kami membicarakan seksualitas dengan sangat cair, hingga terlupa bahwa hal ini bukan lah topik yang tabu. Angin yang berhembus halus, suara nyanyian burung, dan Mas Yosep di depan kita yang berduduk santai dan bermuka ramah, membuat percakapan kami mengalir dengan sejuk dan menyenangkan. Semoga kami terus diberikan hidayah.


Referensi

Anton M, Moelyono. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cetakan I. Jakarta: Balai Pustaka, 1998.

Budiman, Kris. “Pornografi sebagai Teks”. Basis (Desember). 1992, t.thn.

36 views0 comments

Recent Posts

See All

Obi: Volunteering Adalah Momentum Pengembangan Diri

(Oleh Haerunnisa dan Nanda Sazkya) Tergabung menjadi seorang volunteer atau relawan adalah sebuah hal yang sering kali dan umum dilakukan. Membantu dengan sukarela, meluangkan waktu dan kemampuan sert

MEMAHAMI SITUASI PINGGIRAN LEWAT PERAN FISIK MANUSIA

Oleh Gabriel Dania Rekalino Kandolia Ajang pameran seni rupa Biennale Jogja XV 2019 dilaksanakan secara tersebar di beberapa lokasi di Yogyakarta pada 20 Oktober-30 November 2019. Tahun ini, Biennale

bottom of page