top of page
Search

Berawal dari Suka Hingga Menjadi Penopang Hidup

Berawal dari Suka Hingga Menjadi Penopang Hidup

Oleh Adnani Bunga Shakuntala dan Deva Bahtiar Putri

Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu Budaya


Seseorang yang menginspirasi bagi kami adalah Pak Tjokro. Beliau merupakan pecinta, pengrajin, dan pengajar gamelan di wilayah Gunung Kidul. Menurut Pak Tjokro, jika di awal sudah ada kesenangan tersendiri pasti akan berakhir “apik”. Beliau bercerita, seni karawitan ini terdiri dari dua macam, yaitu seni alami dan seni sekolahan. Menurut beliau, ia adalah seseorang dengan seni karawitan yang alami. Seni alami sendiri diartikan bahwa sejak kecil sudah terdapat benih-benih seni, bahkan dapat dikatakan sejak dalam kandungan sudah terdapat bibit seni. Sedangkan untuk seni sekolahan diartikan sebagai seni karawitan yang dipelajari di sekolah. Dalam keluarga besar beliau, sebagian besar anggota keluarga memiliki keahlian seninya masing-masing ada yang jadi sinden, penabuh karawitan, hingga dhalang. Ketika beliau masih muda dan menerima job untuk mengiringi wayang, maka pengiring-pengiring tersebut merupakan saudara sepupu dari Pak Tjokro ini. Namun tetap saja, Pak Tjokro inilah yang memulai kegemaran untuk bermain gamelan.


Pak Tjokro sudah mendengarkan musik gamelan ketika beliau masih berada di Sekolah Dasar, di mana di rumahnya tersedia gamelan dan wayang milik orang tuanya. Ketika beliau berada di tingkat akhir Sekolah Dasar, orang-orang di sekitar mengadakan perkumpulan untuk belajar gamelan dengan memanggil seorang guru pengajar karawitan di Sekolah Dasar, Pak Harto namanya. Kesenangan dalam mendengarkan merupakan awal mula beliau memutuskan untuk lebih dekat dengan karawitan. Ketika gamelan tersebut sedang tidak digunakan untuk berlatih perkumpulan, beliau menggunakan gamelan tersebut untuk berlatih seorang diri. Beliau bercerita, ketika Ayahnya mengetahui bahwa dirinya menyukai alat musik gamelan, ayahnya justru memberikan pilihan yang sulit. Di mana sang ayah meminta Pak Tjokro untuk memilih antara sekolah atau gamelan. Jika Pak Tjokro memilih sekolah, maka Pak Tjokro harus melepaskan gamelan, begitu juga sebaliknya. Kemudian, setelah 5 bulan berada di bangku Sekolah Menengah Pertama, Pak Tjokro memutuskan untuk keluar karena ternyata beliau lebih menyukai belajar gamelan.


Lelaki berusia 70 tahun ini selain dapat memainkan gamelan, beliau juga dapat membuat musik gamelan. Mulai membuat musik gamelan semenjak beliau belum menikah. Kemudian setelah beliau menikah pada tahun 1970-an, beliau mencoba untuk membuat alat musik karawitan. Karena beliau belum memiliki modal yang cukup, hingga saat ini hanya membuat secara kecil-kecilan saja karena beliau juga tidak dapat merekrut karyawan. Ketika beliau mendapat pesanan, baru akan membuatnya. Alat musik gamelan yang masih sering beliau buat adalah gendhang, selalu dibuat tanpa menunggu pesanan. Pak Tjokro akan menyetorkan gendhang-gendhang tersebut ke juragan di kota ketika beliau telah menghasilkan 5 hingga 10 gendhang, atau juragan-juragan itulah yang akan mendatangi rumah Pak Tjokro yang berada di Panggang, Gunung Kidul.


Pak Tjokro ini juga membuat alat musik gamelan selain gendhang namun yang bilangan-bilangan saja, seperti gender, saron, dan demung. Selain itu beliau pernah membuat siter dan rebab. Mengalami kesulitan untuk membuat pencon-pencon karena beliau belum memiliki alatnya. Pencon adalah alat musik gamelan seperti gong, bonang, dan kenong. Menyelaraskan menggunakan alat membuat beliau kesulitan, maka dari itu beliau menyelaraskan setiap nadanya dengan mengandalkan kepekaan perasaan. Ketenangan jiwa dan lingkungan sekitar juga harus didapatkan dahulu sebelum ataupun saat membuat gamelan ini, karena pasti akan mempengaruhi hasil akhirnya. Pak Tjokro membutuhkan sekitar 5 bulan untuk menyelesaikan satu set gamelan. Untuk ricikan demung dan saron dapat menghabiskan waktu 2 hari, namun hanya besinya saja. Untuk membuat saron dan demung dengan perancakannya membutuhkan waktu 5 hari. Perancakan adalah kayu yang diukir untuk menjadi tempat bagi besi-besi tersebut. Hingga saat ini, gamelan hasil buatan beliau terkenal sampai ke luar wilayah Gunung Kidul. Bahkan beberapa saat lalu, seseorang dari Amerika memesan gendhang buatan beliau.


Beliau selalu bersyukur, karena berkat gamelan ini bisa membiayai kebutuhan keluarganya. Beliau mematok harga sesuai dengan kualitas yang dipesan, biasanya 1 set 35 juta. Beliau patungan dengan kakaknya untuk membeli peralatan dan bahan yang digunakan untuk membuat gamelan. Di depan rumah beliau sekarang ini terdapat bahan baku yang cukup banyak yang disiapkan untuk proses pemesanan gamelan. Satu set gamelan terdiri dari 4 saron, 4 demung, gendhang, peking, bonang barung, bonang penerus, 2 slenthem, kenong, kempyang, kethuk, gambang, kempul, 3 gender, dan gong. Gamelan dibagi menjadi dua, yaitu barisan depan dan barisan belakang. Barisan depan gender, gambang, rebab, siter, gendang. Gendang berfungsi untuk “menyetir” pada saat memainkan gamelan. Sedangkan bonang akan ditonjolkan pada saat memainkan gendhing soran, lancaran, dan alusan. Kedua instrumen ini termasuk instrumen yang sulit dimainkan.


Menurut Pak Tjokro, zaman sekarang pada seni sekolahan, mereka lebih ahli pada teori namun pada praktiknya mereka kurang menguasai. Kebalikannya dengan seni alami, walaupun hanya modal mendengarkan pun mereka bisa mengikuti kemudian. Selanjutnya, gamelan memiliki ciri khas (gagrak), yaitu ciri khas Ngayogyakarta dan Surakarta. Perbedaannya terdapat dirancakannya dan cara menabuh beberapa alat musik gamelannya. Tidak ada ritual khusus yang dilakukan ketika akan membuat gamelan, hanya membutuhkan hati yang tenang. Kalau zaman dulu, masih banyak yang membuat gamelan dengan ritual. Sehingga dipercaya bahwa gamelan peninggalan zaman dahulu ada “yang punya”, tak jarang ada yang memberikan sesaji sebelum menggunakannya. Semua kembali kepada kepercayaan masing-masing, bagaimana sikap kita terhadap gamelan. Sebenarnya ada aturan seperti tidak boleh melangkahi gamelan karena untuk menghargai pembuatnya dan dianggap tidak sopan (malati), serta harus duduk sila yang baik.


Pak Tjokro juga bercerita pernah ada kejadian seorang teman yang berani melangkahi gamelan di Sekatenan, seorang teman ini tidak mau melakukan ritual sebelum memainkangamelan, ketika acara telah selesai dia seperti disamber “kendaraan” dan berakhir meninggal dunia. Ada juga ketika memainkan gamelan di Keraton dengan hati yang tidak bersih dan tidak jujur, yang terjadi adalah gamelan tidak menimbulkan suara ketika dimainkan.


Pak Tjokro memanfaatkan kesenangan dalam gamelan ini untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti menjadi guru karawitan di sekolahan. Beliau dipercaya beberapa lembaga sekolah untuk mengajari siswa-siswinya hingga sekarang. Sekarang ini, setiap desa di Gunung Kidul akan diberi satu set gamelan untuk menggalakkan kesenian gamelan lagi. Di Desa Legundi misalnya, salah satu wilayah yang anak-anaknya merupakan siswa karawitan Pak Tjokro, sebagian besar sudah ahli dalam memainkan gamelan dan sangat bersemangat ketika waktu berlatih tiba. Untuk menguasai setiap instrumen pada gamelan membutuhkan waktu yang lama bagi Pak Tjokro. Awalnya beliau mempelajari gambang kemudian beralih ke gendhang. Setiap malam beliau menirukan tabuhan gendhang di radio dan mempelajarinya lewat suara saja.


Pak Tjokro menilai bahwa gamelan memiliki suara yang enak didengar, nyaman, serta merupakan hiburan yang dapat membuat umur panjang. Gamelan juga mengajar dan mendidik dengan budi pekerti yang baik. Pesan Pak Tjokro kepada anak muda sekarang adalah “ingatlah bahwa kita memiliki budaya yang sama-sama unggul dan bagus dengan budaya luar, kalian harus bisa membedakan budaya yang memiliki manfaat yang baik untuk dirimu sendiri. Jangan asal menyerap budaya lain tanpa memikirkan apa pengaruh buruk yang dibawanya”.

26 views0 comments

Recent Posts

See All

Obi: Volunteering Adalah Momentum Pengembangan Diri

(Oleh Haerunnisa dan Nanda Sazkya) Tergabung menjadi seorang volunteer atau relawan adalah sebuah hal yang sering kali dan umum dilakukan. Membantu dengan sukarela, meluangkan waktu dan kemampuan sert

MEMAHAMI SITUASI PINGGIRAN LEWAT PERAN FISIK MANUSIA

Oleh Gabriel Dania Rekalino Kandolia Ajang pameran seni rupa Biennale Jogja XV 2019 dilaksanakan secara tersebar di beberapa lokasi di Yogyakarta pada 20 Oktober-30 November 2019. Tahun ini, Biennale

bottom of page