top of page
Search

Arisan Tenggara dalam Membangun Budaya Koperasi


Mas Andreas atau yang biasa disapa dengan Mas Ucok adalah salah satu penggagas kolektif Arisan Tenggara dan fasilitator dalam sebuah residensi selama dua bulan yang pernah diadakan oleh Arisan Tenggara. Beliau adalah lulusan Universitas Atmajaya Yogyakarta, jurusan teknik sipil yang saat ini menekuni bidang seni bersama teman-temannya di sebuah kolektif bernama Lifepatch. Dalam sebuah wicara seniman yang diadakan oleh Biennale XV, Mas Ucok menceritakan pengalamannya menciptakan laboratorium dengan versi yang berbeda. Menggunakan bahasa Inggris, Mas Ucok memaparkan tentang bagaimana residensi yang dihadiri oleh enam kolektif dari Asia Tenggara itu membuahkan sebuah konsep, yakni laboratorium. Mas Ucok melihat kilas balik laboratorium kuno di berbagai negara dan mengitkannya dengan laboratorium ilmiah yang ada saat ini. Penjelasan Mas Ucok mengenai laboratorium ini dimulai dari pemaparan tentang labratorium di Ceko yang kental dengan nuansa shamanistiknya.


Ketika membahas tentang konsep laboratorium, Mas Ucok ternyata melibatkan latar belakang pendidikannya dalam mengusung konsep tersebut. Setelah membahas tentang laboratorium di Ceko, Mas Ucok beranjak pada pembahasan mengenai laboratorium di suku batak, Sumatera Utara. Mas Ucok percaya bahwa nuansa shamanistik yang ada di laboratorium Ceko ini juga ada di laboratorium kuno di Indonesia. Ketika berbicara tentang aspek ilmiah dari laboratorium, Mas Ucok memaparkan bahwa tetap ada proses ilmiah yang terjadi di sana yang mungkin juga tidak sesuai dengan standar ilmiah dari barat. Mas ucok percaya bahwa shamanistik itu memiliki makna yang lebih dari sekadar sihir atau magic hanya karena hasil dari laboratorium tersebut yang berupa jamu dan diidentikkan dengan ramuan para shaman. Kini telah muncul sejenis jamu modern (tolak angin) dari laboratorium modern (ilmiah) yang merupakan obat masuk angin.


Mas Ucok kemudian tertarik dengan bagaimana laboratorium ilmiah itu mulai berkembang di Indonesia. Laboratorium modern (ilmiah) mulai muncul di Indonesia pada abad ke-17 karena pengaruh dari kolonialisme Belanda. Kemunculan laboratorium di Indonesia dimulai dengan laboratorium yang berisi alkohol dan etanol di sebuah pabrik gula. Laboratorium ilmiah menurut Mas Ucok itu selalu identik dengan seorang peneliti utama / ketua peneliti yang dibantu beberapa asisten dan mereka melakukan apa yang disuruh oleh ketua peneliti.

Laboratorium bukan hanya sebuah struktur, tapi sesuatu yang konsepnya dapat dibawa dan dibangun dimana saja. Pengalaman Mas Ucok yang menemukan sebuah lab tua di sebuah desa itu juga menginspirasi konsep laboratorium yang ia kembangkan saat ini.

Laboratorium kuno kosong di desa tersebut kemudian akhirnya dimanfaatkan para seniman. Mereka membuat konsep laboratorium yang lebih menarik untuk meningkatkan ketertarikan orang, terutama kaum muda terhadap laboratorium. Pengembangan laboratorium berikutnya dilakukan pada tahun 2014 dan berfokus pada penambahan material dengan kerjasama bersama lifepatch. Laboratorium menjadi sarana bertemunya para seniman dan pakar ilmiah sekaligus menjadi ruang bagi mereka untuk berkarya. Banyak yang terjadi selama residensi dan pematangan konsep laboratorium – “banyak orang, banyak kolektif, dan banyak ide baru” tambahnya.


Selain itu, juga ada laboratorium yang diinisiasi oleh Arisan Tenggara bersama dengan seniman asal Australia pada tahun 2013 dan 2015. Dalam laboratorium itu, seniman dituntut untuk menampilkan sesuatu yang bertemakan masyarakat Indian. Fokus pada laboratorium tersebut adalah bagaimana tekanan atau tuntutan itu kemudian menjadi proses refleksi terhadap suatu ideologi atau perspektif tertentu. Laboratorium yang dibahas Mas Ucok itu memberikan ruang bagi partisipannya untuk berkarya sekaligus menunjukkan karya mereka, tetapi juga ada seniman dan arsitek yang terlibat di dalamnya.


Pembahasan Mas Ucok kemudian beralih pada pembahasan mengenai Arisan Tenggara. Arisan Tenggara merupakan kolektif besar yang berbasis di Asia Tenggara. Residensi dua bulan di Yogyakarta dengan dihadiri oleh banyak kolektif dari Asia Tenggara ini menjadi karier awal Arisan Tenggara. Projek berikutnya yang kemudian menjadi bagian dari Biennale XV adalah CCC (Common Creative Cooperativa). CCC ini diinisiasi oleh Arisan Tenggara dan para kolaboratornya.

Mas Ucok kemudian sedikit menceritakan temannya yang berasal dari Australia dan juga merupakan seniman. Mas Ucok menceritakan bagaimana mereka menghabiskan dua hari tanpa melakukan apapun kecuali berwisata ke Gunung Merapi dan Geger Boyo. Ketertarikan teman Mas Ucok pada kehidupan mistik di Gunung Merapi ini juga menginspirasi konsep laboratorium yang menjadi konsep andalan Mas Ucok. Dari kolaborasi tersebut, mereka mengubah galeri menjadi ruang hidup dimana orang-orang atau audiens dapat menonton sang seniman yang sedang menyajikan karyanya secara langsung.


Laboratorium lain yang juga menjadi inspirasi Mas Ucok adalah lab yang ada di Madrid, Spanyol. Di sana masyarakat setempat dapat ikut mengerjakan projek yang diadakan oleh pihak laboratorium karena laboratorium melakukan panggilan terbuka kepada siapapun yang memiliki gagasan selama satu bulan. Mas Ucok sendiri sempat membawa idenya ke laboratorium tersebut dan diterima. Akhirnya mas ucok dapat merealisasikan ide tersebut.

Mas ucok juga sempat menjadi ditektur dalam sebuah biocamp yang mana di situlah pakar ilmiah dan seniman itu bertemu dan mendiskusikan beberapa isu. Kembali pada pembahasan mengenai Arisan Tenggara, Mas Ucok kemudian menunjukkan foto dari hampir seluruh anggota Arisan Tenggara yang mengikuti residensi waktu itu. Mas Ucok memaparkan bahwa Arisan Tenggara ini berangkat dari wacana tentang kurangnya kerjasama di antara enam kolektif di Yogyakarta padahal mereka sering diskusi bersama. Mas Ucok memaparkan dengan sedikit tertawa ketika membayangkan tentang bagaimana caranya mengadakan residensi dan mengumpulkan berbagai kolektif ke dalam satu ruang. Mas Ucok takut jika acara tersebut akan jadi membosankan.


Setiap kolektif akhirnya mendapat ruang mereka sendiri untuk berdiskusi dan para fasilitator akan mengunjungi mereka jika ada projek yang akan dikerjakan. Selama satu sampai dua minggu, residensi yang diadakan sangat membosankan karena hanya diisi dengan diskusi dan terjebak dalam diskusi yang melelahkan. Improvisasi pun dilakukan setelah minggu kedua residensi. Mas Ucok mengusulkan konsep laboratorium yang lebih terbuka terhadap masyarakat setempat dan berjangka panjang. Dalam kegiatan residensi ini ada LO yang sebnarnya terkesan pasif karena konsepnya hanya menemani kolektif. Hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi para fasilitator untuk melibatkan semuanya dalam proses pengerjaan projek. Panitia kemudian kembali berimprovisasi dengan melibatkan semua orang. Setiap kolektif ataupun individu dengan ide mereka masing-masing boleh keluar dengan ditemani dan diskusi bersama LO.


Mas Ucok kemudian menunjukkan beberapa foto para seniman dan LO nya. Sebuah ide dari seorang seniman akhirnya menginspirasi sebuah projek yang berkonsep koperasi. Konsep tersebut berkaca dari ketidaksetaraan antara seniman, tukang, dll. Biennale XV menjadi event yang bagus untuk memamerkan karya Arisan Tenggara yang disponsori oleh CCC (Common Creative Cooperative) dan memilih dua seniman untuk mengerjakan projeknya. CCC ini bekerja berdasarkan waktu dan kemampuan yang mana tercermin dalam instalasi yang mereka pamerkan di Biennale XV.


Pembicaraan santai berikutnya adalah bersama Mbak Sita yang juga merupakan anggota lifepatch dan Arisan Tenggara. Setelah saling berkenalan dengannya, kami mulai membicarakan Arisan Tenggara yang diinisiasi pada tahun 2018 itu. Dengan antusias, Mbak Sita menceritakan perjalanan Arisan Tenggara yang dimulai dari Ace House. Diprakarsai oleh kolektif seni rupa yang beranggotakan alumni Institut Seni Indonesia Yogyakarta, mereka kemudian mengajak beberapa kolektif seni, seperti lifepatch, survive garage, dan mes 56 untuk meramaikan Arisan Tenggara. Mereka kemudian menghendaki lingkup yang lebih luas, sehingga kolektif besar ini akhirnya berbasis Asia Tenggara. Wacana yang dibangun dalam pembentukan kolektif seni ini adalah bagaimana seni di Indonesia itu lebih dekat dengan Eropa dan membuat kita lebih banyak mengenal sesuatu yang jauh dari kita.



Pada perkembangannya, Arisan Tenggara kemudian mengundang enam kolektif dari Asia Tenggara, di antaranya ada Wasak dari Filipina, tentacles dari Thailand, recreative dari Timor Leste, kolektif dari Makassar, dan gembel kreatif yang juga berasal dari Timor Leste. Isu kurangnya komunikasi kemudian mendorong kolektif ini untuk mengadakan residensi selama dua bulan di Yogyakarta. Sambil menyiapkan beberapa obat yang akan ia minum, Mbak Sita memaparkan bahwa hampir setiap hari dalam kegiatan residensi itu diisi dengan mengobrol dan presentasi, karena selama ini banyak praktik dan jarang membicarakan praktik tersebut. Diskusi yang diadakan pun membicarakan banyak hal, seperti modal ekonomi, modal sosial, modal kapital, dan ideologi.


Arisan Tenggara kemudian membuat simulasi kerja bersama yang konsepnya mirip dengan arisan, yakni dikocok dan konsep yang terpilih akan dipakai dalam pameran Biennale XV. Akhirnya konsep yang terpilih adalah koperasi yang dikerjakan selama kegiatan residensi. Menurut Mbak Sita Arisan Tenggara merupakan sebuah platform, yang mana menjadi wadah dari beberapa kolektif. Hasil dari diskusi, yakni konsep koperasi itu diharapkan dapat berjangka panjang mengingat masih ada grup whatsapp yang berisi orang-orang yang akan mengerjakan projek. Dalam mengerjakan projek, pihak Arisan Tenggara membuka open call. Teman-teman bisa bergabung dan membuat daftar yang berisi skill masing-masing. Teman-teman yang telah mendaftar akan dihubungi jika ada. Karena bersifat kooperatif, maka mereka yang telah mengajak rekannya bekerja dapat kembali mengajak rekan yang telah mengajaknya dengan durasi waktu yang sama.


Koperasi membutuhkan ruang untuk menstimulasikan cara kerjanya dan Biennale XV adalah tempatnya. Dua seniman yang terlibat dalam pameran karya seni dan merealisasikan konsep tersebut adalah Mas Andik dan Mbak Manda. Adanya koperasi dapat menutup kekurangan dana produksi yang diberikan oleh pihak Biennale XV. Membahas mengenai skill, Mbak Sita memaparkan bahwa kemampuan tertentu dalam kolektif itu dibutuhkan sesuai latar belakang kolektifnya. Ada anggota yang memang bisa menggambar, melukis, dll, tapi kemampuan manajerial dan riset juga penting dalam kolektif seni. Kembali pada Arisan Tenggara, Mbak Sita memaparkan bahwa ciri khas dari kolektif seni ini adalah keberhasilannya menjadi kolektif besar yang mewadahi berbagai kolektif seniman dan mempunyai wadah untuk saling membantu jika terjadi masalah. Adanya Arisan Tenggara membantu pengerjaan projek, saling terkoneksi (hubungan sosial), dan saling melengkapi. Acara yang diadakan pun menjadi lebih masif, baik dari jumlah partisipan maupun kualitas.


Sejauh ini, 12 kolektif yang bergabung dalam Arisan Tenggara memiliki jumlah anggota yang berbeda-beda. Dalam obrolan yang santai ini, Mbak Sita menyampaikan bahwa untuk menjadi bagian dari Arisan Tenggara, individu harus bergabung dalam kolektif tertentu karena sifatnya yang based on collective. Ketika ditanya mengenai transparansi dari Arisan Tenggara, ia memaparkan bahwa kolektif ini sebenarnya tertutup, tetapi projeknya lebih terbuka/inklusif.

Arisan Tenggara kemudian memang tidak struktural, kaya majelis, berupa diskusi dan membuat projek. Sedangkan struktur akan terbentuk ketika mengerjakan projek, sehinga untuk memudahkan jalannya pengerjaan projek namun masih tidak terlalu mengatur. Residensi dalam Biennale merupakan hasil kerjasama dari enam kolektif yang menjadi tuan rumah dan memiliki susunan kerja sebagai LO yang menjadi support system, fasilitator, sponshorship, dan lain sebagainya. Biennale menjadi salah satu projek besar dari Arisan Tenggara dengan timeline kerja selama kurun waktu setahun. Persiapan Biennale sendiri memakan 3 bulan eksekusi lapangan dengan berbagai macam seniman yang telah diberikan ruang aplikasi karya masing-masing.


Arisan tenggara dalam mengerjakan projeknya sendiri terbilang cukup bebas dan tidak tergantung kepada pemberi dana. Mengingat salah satu kekuatan seni adalah kebebasan berekspresi, sehingga tidak masalah jika mengkritik atau menyinggung fenomena sekitar.

Bahkan untuk pemberi dana sendiri tidak menuntut atau mengatur wujud forumnya. Salah satu wujud forum yang akhirnya direalisasikan yakni tagline Help me to help you yang menjadi wujud koperasi dalam Arisan Tenggara.


Berbicara tentang kolektif maka dimaksud disini adalah sekumpulan orang dengan passion yang sama, salah satu contohnya kolektif Lifepatch yang dikuti oleh Mbak Sita. Dimana kolektif ini beranggotakan 11 orang dengan basis sains dan teknologi serta seni dengan latar belakang member yang berbeda-beda. Kolektif ini menjadi sebuah wadah lintas disiplin ilmu yang diaplikasikan dalam wujud seni dan kebebasan. Ada pula kolektif Ace House yang lebih berfokus dalam bidang seni rupa. Seni sendiri menurut Mbak Sita dalam perkembangannya mengalamai banyak tren kontemporer, sehingga sangat beragam, dan dipengaruhi dengan kondisi sosial sang kolektif juga.


Kolektif sendiri memiliki ruang berkarya masing-masing dan mekanisme struktur kenggotaan berbeda-beda. Berbeda dengan Lifepatch yang tidak memiliki hierarki secara jelas, namun selalu ada seseorang yang ditokohkan di dalamnya, Ace House lebih banyak didominasi mahasiswa dan alumni ISI Yogyakarta dan Mes 56 memiliki struktur berupa direktur dan bagian lain di bawahnya. Adapun dalam Mes 56 terdapat sistem oendaftaran anggota yang terstruktur.

Arisan tenggara yang memang terdiri dari banyaknya kolektif baik dalam dan luar negeri, maka komunikasi yang dilakanakan hanya via media sosial dan pertemuan dilaksanakan setiap dua tahun sekali. Melalui proses inilah kemudian forum Arisan Tenggara menjadi fasilitas untuk menghubungkan antar budaya dan masyarakat di sekitar Asia Tenggara. Wadah yang menjadi poin penting di sini bisa terlihat juga dari proses koperasi yang menjadi bagian penting untuk Arisan Tenggara bisa berdiri secara konsisten. Wujud saling membantu yang banyak diterapkan dalam sistem proyek Arisan Tenggara juga akhirnya akan membentuk adanya budaya organisasi yang unik dan baik.


Penulis: Akhodza K dan Fadia R. A


12 views0 comments

Recent Posts

See All

Obi: Volunteering Adalah Momentum Pengembangan Diri

(Oleh Haerunnisa dan Nanda Sazkya) Tergabung menjadi seorang volunteer atau relawan adalah sebuah hal yang sering kali dan umum dilakukan. Membantu dengan sukarela, meluangkan waktu dan kemampuan sert

MEMAHAMI SITUASI PINGGIRAN LEWAT PERAN FISIK MANUSIA

Oleh Gabriel Dania Rekalino Kandolia Ajang pameran seni rupa Biennale Jogja XV 2019 dilaksanakan secara tersebar di beberapa lokasi di Yogyakarta pada 20 Oktober-30 November 2019. Tahun ini, Biennale

bottom of page