top of page
Search

Arham Rahman : Cerita dan Puntung Rokok

(Sumber foto : biennalejogja.org)


Oleh : Yunda Ajeng Pratitasari & Azrial Abyad W


Senin terakhir di bulan November tahun 2019 merupakan hari istimewa bagi sebagian orang, termasuk kami. Kala itu, kami bertandang ke tempat “bermain” pegiat seni di mana mereka dapat memamerkan ragam ekspresi yang diwujudkan melalui karya-karya seni elok dan indah. Bisa dibilang, sebenarnya kami menyambi saat mendatangi tempat “bermain” ini karena tujuan awal dari perjalanan kami kesana adalah mengikuti jalannya kuliah lapangan. Mengunjungi Jogja National Museum dengan perhelatan akbar Biennale Jogja XV Equator #5 bukanlah sebuah pengalaman pertama, namun perbedaan terasa pada kunjungan kami kali ini. Kami berkesempatan untuk bertemu salah seorang pegiat seni yang hebat dan terkenal. Pegiat seni sekaligus kurator utama dalam perhelatan Biennale Jogja XV Equator #5 menjadi bingkai dari profil singkat dirinya. Seorang pria tersenyum lebar dengan senang hati menjawab berbagai pertanyaan yang dilontarkan oleh para mahasiswa. Dengan ramah, ia menanggapi berbagai keingintahuan mahasiswa mengenai proyek seni besar dua tahunan yang diselenggarakan oleh Yayasan Biennale ini. Pertanyaan-pertanyaan itu ia jawab dengan penuh perhatian dan tetap memiliki ciri khas seorang seniman. Ia adalah Arham Rahman.


Setelah sesi kuliah lapangan berakhir, kami segera menemui Mas Arham--yang sebelumnya sudah setuju untuk diwawancarai--untuk berpindah tempat. Kami duduk berdekatan di warung sebelah barat panggung utama Jogja National Museum. Di meja persegi panjang Mas Arham duduk di sisi lebar meja, sementara kami duduk di sisi panjang meja sebelah kanan Mas Arham. Perbincangan kami diawali dengan mengetahui secara lebih dalam siapa sebenarnya diri Mas Arham. Sebelum menjawab pertanyaan, ia menyalakan puntung rokok untuk memberikan relaksasi pada dirinya. Arham Rahman merupakan salah seorang tim kurator Biennale Jogja XV Equator #5. Pria yang tumbuh besar di Makassar ini mulai tertarik dengan dunia seni saat melanjutkan pendidikannya di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Kala itu dosen pembimbingnya membentuk sebuah kelompok belajar untuk sebuah tugas. Kelompok ini mengusung proyek Jogja Art File (JAF) dengan me-review tulisan-tulisan beberapa seniman. Sikap dan pandangannya terhadap isi tulisan beberapa seniman lain menurutnya terlalu ndakik-ndakik dan terkesan ‘kosong’. Maka dari itu, Arham menekuni riset-riset karya seni rupa dan menulisnya. Hal ini dilakukannya agar tulisannya dapat memberi pandangan kepada seniman lain mengenai bagaimana seharusnya sebuah karya seni itu dimaknai. Ketika ia menjelaskan latar belakang sebelum terjun ke dalam dunia seni, kami merasa dirinya sangat mudah untuk berbicara dan memberitahu informasi-informasi yang mungkin dapat dikategorikan sebagai privasi diri. Mas Arham larut dalam obrolan hingga rokok yang berada di tangan kirinya habis oleh angin sebelum dihisap berkali-kali. Dirinya menunjukkan gestur jujur dengan gaya bicaranya yang ringan serta jelas seperti tak ada informasi yang ditutup-tutupi.


Sebelum dipercaya menjadi salah satu tim kurator Biennale Equator #5, dirinya telah malang melintang dalam dunia seni. Hingga kini, dirinya tergabung dalam komunitas seni dan budaya, seperti Erupsi (Akademisi, Psikoanalisis, Seni, dan Politik), Gerakan Seni Colliq Pujie, Studi Praktik Seni (SOAP), dan SPASI yaitu studi kuratorial dan kelompok kritik seni. Selain melakukan penelitian mengenai isu-isu seni dan budaya, ia juga membuat pameran di beberapa ruang di Yogyakarta. Arham menjadi bagian dari penanggung jawab festival arsip bertajuk Visual Art Archive pada tahun 2017. Pada tahun yang sama, dirinya juga mengembangkan visi kuratorial di Galeri Lorong. Ia juga ikut andil pula dalam kelahiran Biennale Makassar pada tahun 2015, kemudian terlibat kembali dalam penyelenggaraannya pada tahun 2018. Selanjutnya, perhelatan besar Biennale Jogja tahun 2019, dirinya kembali memperluas jejaring para penggerak seni generasi muda melalui proyek jaringan yang diinisiasi oleh Ace House Collective. Kemudian pada tahun 2019, ia diberi mandat oleh Yayasan Biennale Jogja untuk menjadi salah satu tim kurator Biennale Jogja XV Equator #5 bersama dengan Akiq A.W dan Penwadee Nopaket Manont.


Saat interval antara pertanyaan mengenai kehidupan Mas Arham sebelum menjadi kurator di Biennale, sempat diantara kami hanya angin yang berbicara kencang dan lantang. Angin meniup poster dan banner yang dipajang di sekitar kami selama beberapa detik. Mas Arham terlihat menikmati angin yang berhembus dengan lamunan singkat ala seniman. Kemudian, dirinya mulai menyalakan puntung rokoks selanjutnya.


Mengenai konsep Biennale yang diusungnya, dirinya sendiri merupakan sosok yang tertarik dengan wacana psikoanalisis lacanian, kritik pasca kolonialisme, pendekatan lain terkait isu-isu seni dan budaya. Tahun ini, Biennale Jogja XV Equator #5 mengusung kisah-kisah pinggiran yang memiliki relikui pasang surut kehidupan yang menerpanya. Meskipun dirasa dilematis, isu ini dirasa cukup menarik untuk diambil sebagai tema besar Biennale tahun ini. Arham Rahman menuturkan bila isu ini terbilang unik karena membedakan isu-isu lain yang diangkat di Biennale sebelumnya. Lingkup daerah yang diusung memiliki latar belakang imperialisme di dalamnya. Persamaan pengalaman dan nasib inilah yang menjadikan Asia Tenggara menjadi benang merah negara ekuator yang diangkat ke dalam ruang pamer proyek seni besar ini.


Kontekstualisasi antara tema besar ruang diusung oleh Biennale Jogja XV Equatorial #5 yakni ‘pinggiran’. Tema besar ‘pinggiran’ ini merupakan lanjutan dari program Biennale untuk mengeksplor wilayah ekuator. Dengan membahas secara spesifik negara-negara yang dilewati oleh garis khatulistiwa atau sekitarnya memunculkan adanya rasa persamaan yakni perasaan nasib terjajah pada masa lalu. Namun, intensi yang ditimbulkan bukanlah meratapi masa lalu atau meromantisasi bahkan eksotisasi, tetapi lebih kepada menerima kompleksitasnya. Pada tahun ini negara-negara kawasan Asia Tenggara menjadi highlight utama untuk merepresentasikan negara-negara ekuator.


Pinggiran yang dimaksud disini bukanlah merupakan pinggiran yang merujuk ke daerah pelosok. Namun, lebih kepada sikap marjinal yang dirasakan pada arus utama dan bukannya pelosok. Tema ini dapat memberi kesan spesifik sekaligus longgar dalam waktu yang bersamaan. Pinggiran dalam Biennale Jogja XV Equatorial #5 juga terbagi menjadi tiga bagian yakni diangkatnya berbagai isu pinggiran seperti ketimpangan gender, ketidakadilan ekonomi, dan situasi politik. Lalu, pinggiran dalam subyek seperti orang-orang yang direpresi dan pinggiran yang diangkat dari praktik hidup melalui program resedensial. Menurut kami, apa yang ditampilkan dalam Biennale Jogja XV Equatorial #5 sudah tepat dalam persoalan urgensi karena untuk dapat mengerti permasalahan dalam arus utama perlu adanya platform khusus yang dapat menggerakan opini secara massal. Disini kami dapat melihat hal tersebut dalam Biennale Jogja XV Equatorial #5.


Tentunya sebelum menjadi tema besar Biennale Jogja XV Equatorial #5, isu ‘pinggiran’ ini berawal dari sebuah keresahan. Seperti hasil wawancara kami dengan Mas Arham sebagai salah satu anggota dari tim kurator utama, ia menjelaskan bahwa sebelum adanya konsep negara dan bangsa orang-orang di kawasan Asia Tenggara memiliki koneksinya sendiri. Namun, setelah konsep negara dan bangsa semuanya serba terpusat. Koneksi seperti terkekang dan tidak lancar seperti seharusnya karena letak Asia Tenggara yang strategis. Pembicaraan mengenai hal ini dikembangkan karena banyak terjadi kasus-kasus di daerah liminal. Dari keresahan tersebut muncul intensi untuk mengadakan resedensi kelana yang dilakukan di Sulawesi Barat, Kalimantan dan Sumatra di mana akan dibentuk beberapa tim dengan beberapa seniman didalamnya untuk bertukar pengetahuan, sejarah, dan ide sesuai teori yang diasumsikan. Pertanyaan sederhana yang dapat membuat kita berpikir kembali akan kebersamaan orang-orang Asia Tenggara dahulu adalah apakah kita memiliki masalah yang sama?


Tugas kuratorial yang Mas Arham dan anggota lain lakukan merupakan tugas vital dalam sebuah pagelaran pameran seni. Mereka bekerja jauh sebelum hari pameran seni dilaksanakan. Mulai dari menentukan tema besar yang akan diangkat dalam pameran hingga bertanggung jawab untuk output yang akan dikeluarkan pasca pameran selesai dilaksanakan. Saat menjelaskan tugas-tugas dari seorang kurator, Mas Arham hanyut terbawa suasana. Dirinya sangat antusias dan menjelaskan secara detail tantangan apa saja yang dihadapi saat proses kuratorial. Sampai-sampai, puntung rokok yang ia pegang habis dengan sendirinya tanpa sekalipun ia hisap. Lalu beliau kembali bercerita penentuan tema besar untuk Biennale tahun ini dilakukan melalui diskusi dengan beberapa ahli sampai diputuskan tema besar yang digunakan yakni “Pinggiran”. Selanjutnya, tugas kuratorial yang dilakukan oleh Mas Arham dengan mencari seniman untuk mengikuti program residensi kelana dan mencari seniman yang memiliki kemampuan serta karya yang berkaitan dengan isu pinggiran baik seniman dalam negeri maupun seniman luar negeri. Tantangan yang muncul dalam proses kuratorial ini adalah yayasan Biennale tidak memberikan intensif berupa uang. Lebih dari itu, Biennale Jogja memberi timbal balik berupa jejaring, bargaining dan representing. Adanya anggapan bahwa seniman yang telah merepresentasikan karya di Biennale akan mendapatkan popularitas yang tinggi. Tentu dengan popularitas yang tinggi itu meningkatkan jejaring dan bargaining. Selanjutnya, penataan instalasi seni juga merupakan tugas seorang kurator. Untuk menciptakan atmosfer “pinggiran” yang nyata, kurator harus melakukan negosiasi dengan para seniman karena setiap seniman memiliki kebutuhannya masing-masing seperti instalasi yang menggunakan audio, visual, maupun fragile art. Kurator juga harus paham dengan bahan material yang dipakai setiap seniman untuk dapat menentukan posisi dari instalasi yang akan dipajang. Terakhir, pasca pagelaran Biennale telah dilaksanakan, tugas kurator memastikan output sebagai fungsi dokumentasi.


Setelah berbincang panjang mengulik secuil perjalanan hidup Mas Arham dengan cerita balik layar penyelenggaraan Biennale Jogja XV Equator #5, saatnya kami untuk mengakhiri pertemuan kami dengan Mas Arham. Perbincangan kami dengan beliau memberi pengalaman tersendiri atas kisah-kisah inspiratif yang Mas Arham bagi kepada kami. Sebagai seorang pegiat seni, Arham Rahman merupakan sosok yang memiliki dedikasi tinggi terhadap setiap bagian kehidupan yang ia jalani. Setiap kisah dan detail yang diceritakan dapat menjadi pelajaran bagi kami dan dapat menjadi harapan untuk menyongsong tantangan yang akan dihadapi.


Referensi


“Arham Rahman - Collaborators - Independent Curators International.” Curatorsintl.Org, 2010, curatorsintl.org/collaborators/arham-rahman. Accessed 20 Dec. 2019.


Daily, Jogja. “Arham Rahman Archives - JOGJA DAILY.” JOGJA DAILY, 11 Mar. 2019, jogjadaily.com/tag/arham-rahman/. Accessed 20 Dec. 2019.

35 views0 comments

Recent Posts

See All

Obi: Volunteering Adalah Momentum Pengembangan Diri

(Oleh Haerunnisa dan Nanda Sazkya) Tergabung menjadi seorang volunteer atau relawan adalah sebuah hal yang sering kali dan umum dilakukan. Membantu dengan sukarela, meluangkan waktu dan kemampuan sert

MEMAHAMI SITUASI PINGGIRAN LEWAT PERAN FISIK MANUSIA

Oleh Gabriel Dania Rekalino Kandolia Ajang pameran seni rupa Biennale Jogja XV 2019 dilaksanakan secara tersebar di beberapa lokasi di Yogyakarta pada 20 Oktober-30 November 2019. Tahun ini, Biennale

bottom of page