top of page
Search
  • Writer's pictureHae

Pro dan Kontra RUU Sebagai Sesuatu yang Bersifat Mengancam Masyarakat

Updated: Nov 22, 2019

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau lebih dikenal dengan sebutan KUHP merupakan peraturan perundang-undangan yang mengatur perbuatan pidana secara materiil di Indonesia. Singkatnya, KUHP berisi mengenai segala bentuk perbuatan yang dapat dipidanakan. Pidana tersebut dapat berupa penjara, pidana mati, denda, dsb. Berdasarkan sejarahnya, KUHP yang berlaku di Indonesia merupakan produk hukum pemerintahan zaman kolonial Hindia Belanda, Wetboek van Strafrecht.


KUHP mulai diberlakukan di Indonesia sejak tahun 1918, sedangkan kemerdekaan Indonesia jatuh pada tahun 1945. Dalam kasus ini dapat ditarik suatu fakta bahwa KUHP sudah digunakan selama 101 tahun, dan 74 tahun setelah kemerdekaan Indonesia. Usia KUHP yang sudah melebihi 1 abad ini terdapat banyak pasal yang isinya sudah tidak relevan dengan kehidupan masyarakat saat ini. Salah satunya adalah Pasal 172 Bab V KUHP lama mengenai Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum, yaitu “Barang siapa dengan sengaja mengganggu ketenangan dengan mengeluarkan teriakan-teriakan, atau tanda-tanda bahaya palsu, diancam dengan pidana penjara paling lama tiga minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.


KUHP yang telah usang perlu dilakukan rekodefikasi. Berdasarkan sejarahnya, rekodefikasi KUHP sudah digagas saat diselenggarakannya Seminar Hukum Nasional I pada tahun 1963 di Semarang. Terhitung sejak 1963 silam atau tepatnya pada saat masih era kepemimpinan Ir. Soekarno, rekodefikasi KUHP sudah mulai dilakukan, artinya rekodefikasi sudah berlangsung selama 56 tahun, akan tetapi tidak kunjung tuntas.


Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan sebuah lembaga yang bertugas untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan kasus tindak pidana korupsi. Kepengurusan DPR yang tidak lama lagi tuntas masa periodenya ingin melakukan perubahan terhadap KPK. Selain itu, permasalahan lain mengenai KPK adalah perihal 10 calon pemimpin baru KPK yang mayoritas memiliki bukti sejarah yang ‘bermasalah’. Herannya, 10 nama calon pemimpin tersebut sudah disetujui oleh Presiden RI Ir. Joko Widodo. Menjelang akhir masa jabatannya, jajaran DPR melakukan RUU KPK, yang mana menurut ketua KPK, Agus Rahardjo, hal ini akan berdampak pada pelemahan pemberantasan korupsi, hal ini berbanding terbalik dengan keputusan Presiden RI Joko Widodo yang tetap melanjutkan pembahasan RUU KPK. Salah satu bunyi pasal kontroversial dari RUU KPK adalah Pasal 12B Ayat 1, “Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 Ayat (1) dilaksanakan setelah mendapatkan izin tertulus dari Dewan Pengawas”.


Sidang paripurna DPR dalam memutuskan RUU yang dilaksanakan pada tanggal 24 September 2019 membuat berbagai elemen masyarakat sipil melakukan aksi. Terhitung sejak tanggal 23 September telah banyak aksi yang dilakukan di berbagai kota di Indonesia, diantaranya adalah Yogyakarta, Malang dan beberapa kota lainnya. Dilanjutkan pada tanggal 24 September 2019, puluhan ribu mahasiswa dari berbagai kampus turut membanjiri depan gedung DPR. Mereka membawa 7 tuntutan penting, diantaranya adalah RUU KUHP, RUU KPK, RUU Ketenagakerjaan, RUU Pertanahan, RUU PKS, Kriminalisasi Aktivis, dan Isu Lingkungan. Para demonstran mengganggap bahwa revisi tersebut rawan akan kriminalisasi. Banyaknya tuntutan tersebut merupakan desakan yang ditujukan kepada DPR beserta jajaran yang merumuskan RUU untuk mengkaji kembali tiap pasalnya. Hal ini dikarenakan masih banyak terdapat pasal-pasal karet yang mudah menjerumuskan masyarakat terhadap suatu tindak pidana.


Membahas pasal-pasal kontroversial, berikut adalah beberapa pasal yang cukup fenomenal, diantaranya adalah tindak pidana; kumpul kebo, larangan bagi perempuan untuk keluar rumah di atas pukul 22.00, gelandangan, unggas yang masuk ke pekarangan orang lain, pemerkosaan terhadap suami/istri, aborsi, kritik terhadap presiden, tuntutan mengadili oknum-oknum yang berbuat kerusakan terhadap lingkungan, dicabutnya cuti haid dan kewajiban penyediaan kesejahteraan bagi para pekerja, perampasan hak atas tanah, segera disahkannya RUU PKS, penarikan aparat TNI dan Polri dari tanah Papua, dsb.


KUHP yang direkodefikasi anak bangsa sejak 56 tahun silam merupakan sebuah prestasi sangat membanggakan. Akan tetapi, dibalik hal tersebut terdapat pasal-pasal yang dianggap mudah mengkriminalisasi seseorang, hal ini membuat banyak elemen masyarakat sipil, khususnya mahasiswa, melaksanakan aksi. Dibalik tuntutan para demonstran, terdapat beberapa opini dari masyarakat yang setuju terhadap beberapa atau seluruh pasal RUU. Mereka yang pro terhadap keputusan pemerintah banyak yang menganggap bahwa para demonstran tidak mengkaji ulang dengan seksama tiap pasal yang direvisi. Berikut beberapa asumsi yang ‘meluruskan’ pasal-pasal kontroversial :

  1. Tindak pidana pelaku kumpul kebo. Hal ini tentu tidak akan dipidana jika suami/istri/orang tua/orang yang bersangkutan tidak melapor kepada pihak yang berwenang

  2. Tindak pidana bagi gelandangan. Hal ini tidaklah relevan dengan RUU KUHP Pasal 341, “Setiap Orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I”. Perlu digarisbawahi pada kalimat “yang mengganggu ketertiban umum”, artinya hanya yang mengganggu ketertiban umum yang akan mendapat tindak pidana

  3. Tindak pidana bagi pemilik unggas yang memasuki pekarangan orang lain. Perlu diluruskan bahwa denda yang ‘mencapai’, bukan berarti ‘denda pasti’ sebesar 10 juta rupiah. Penggunaan kata ‘pekarangan’, yang mana jika seseorang memiliki pekarangan yang ditumbuhi oleh berbagai tanaman bernilai jual lalu dimakan habis oleh unggas, pastinya pemilik pekarangan akan mendapatkan kerugian yang besar. Bahkan jika dilihat dari sisi sebagai pemilik pekarangan, peraturan ini tidak berlaku untuk unggas saja, melainkan seluruh hewan peliharaan

  4. Penghapusan cuti haid. Orang yang pro terhadap pasal RUU Ketenagakerjaan ini menganggap bahwa rasa nyeri/sakit haid dapat diatasi dengan mengkonsumsi obat

Hal-hal yang disebutkan diatas merupakan sedikit kasus dari pasal-pasal dalam tuntutan mahasiswa yang tidak pro rakyat, juga beberapa opini berisi sanggahan atau pelurusan pasal-pasal RUU dari masyarakat yang pro terhadap pemerintah. Kasus ini secara tidak langsung menuntut kita untuk selalu mengkaji ulang terhadap suatu suatu hal, akan tetapi membuat kita sebagai masyarakat sipil untuk tegas dalam bertindak dan mengungkapkan suatu kebenaran. Aksi yang dilakukan ini merupakan suatu tindakan positif, karena pada dasarnya merupakan hak bagi seluruh masyarakat, juga sebagai bukti nyata bahwa negara kita merupakan negara demokratis. Selain itu, menuntut kita untuk menyikap berbagai permasalahan tidak hanya dari satu sisi saja.




Daftar Pustaka

  1. https://id.wikipedia.org/wiki/Kitab_Undang-undang_Hukum_Pidana diakses pada tanggal 2 Oktober 2019 pukul 20.00 WIB

  2. https://www.liputan6.com/news/read/4070780/menengok-sejarah-kuhp-produk-hukum-belanda-berumur-lebih-dari-100-tahun diakses pada tanggal 2 Oktober 2019 pukul 20.43 WIB

  3. Buku I,II,III KUHP versi lama yang diunggah melalui laman https://m.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt4c7b7fd88a8c3/node/38/wetboek-van-strafrecht-%28wvs%29-kitab-undang-undang-hukum-pidana-%28kuhp%29 pada tanggal 2 Oktober 2019 pukul 21.04 WIB

  4. RUU KUHP September 2019 yang diunggah melalui laman https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/17797/rancangan-undang-undang-2019 pada tanggal 2 Oktober 2019 pukul 21.13 WIB

  5. Highlight “RUU KUHP” yang diakses melalui laman www.instagram.com/nadyavalerie pada tanggal 2 Oktober 2019 pukul 22.09 WIB

  6. https://twitter.com/KuIngatKamu/status/1171822302754852864?s=19 diakses pada tanggal 2 Oktober 2019 pukul 22. 45 WIB

17 views0 comments

Recent Posts

See All

PEMBATASAN JAM MALAM BAGI PEREMPUAN

Nama: Hanum Ari Prastiwi NIM: 18/424761/SA/19133 Mata Kuliah: Komposisi Menulis Kreatif (menulis etnografi) Alasan pembatasan jam malam pada perempuan terutama suku Jawa sudah tidak asing dengan kalim

bottom of page