top of page
  • Black Instagram Icon

Orang Bodoh, Bolehkah Berdemo

Updated: Oct 14, 2019

Akhir-akhir ini pikiran saya dirungsingkan dengan beberapa tweet, chat, maupun status orang-orang pada akun sosial media mengenai kritik mereka terhadap beberapa atau mungkin boleh jadi sebagian besar mahasiswa yang turun pada aksi yang baru-baru saja dan masih berlangsung hingga saat ini. Adalah aksi yang bertujuan untuk mengeluarkan mosi tidak percaya pada DPR yang di lakukan oleh para mahasiswa, mulai dari gejayan memanggil (yang saya pun merupakan bagian di dalamnya), Bandung bergerak, Bengawan melawan, Bali tidak diam, Semarang memanggil hingga aksi inti dan besar-besaran yang di lakukan di Senayan. Banyak kritik yang salah sasaran saya pikir. Alih alih mengkoreksi soal kualitas substansi tuntutan, banyak kritik malah menyerang soal kualitas massa aksi itu sendiri. Namun sebelum kita jauh-jauh membahas mengenai massa dalam sebuah aksi maka alangkah baiknya jika kita mengerti terlebih dahulu apa itu aksi.

Pedoman yang akan saya pakai pertama kali tentunya KBBI (kamus besar bahasa indonesia), disana di tuliskan bahwa aksi adalah gerakan, tindakan, atau sikap. Namun yang kita bahas disini tidak lain tidak bukan adalah aksi unjuk rasa yang mana di KBBI adalah tindakan protes yang dilakukan oleh sekelompok orang karena tidak puas dengan kebijakan atau keadaa, biasanya dengan membentangkan poster, orasi, atau aksi teaterikal. Tidak lengkap rasanya jikalau hanya KBBI yang memberikan pendapatnya mengenai pengertian aksi unjuk rasa ini. Sesuai dengan pasal 1 ayat 3 UU nomor 9 tahun 1998, unjuk rasa atau demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih, untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara demontratif di muka umum, dengann asa keseimbangan antara hak dan kewajiban, musyawarah mufakat, kepastian hukum, dan keadilan proporsional, serta asas mufakat.

Selanjutnya saya akan bercerita sedikit tentang bagaimana saya mengikuti aksi gejayan memanggil pada tanggal 23 September lalu. Jujur, saat saya akhirya memutuskan untuk ikut dalam aksi tersebut saya benar-benar tidak tau-menau soal aksi tersebut. Saya tidak tau duduk permasalahannya, saya tidak tau mengapa aksi ini di selenggarakan (meskipun setelahnya di jelaskan oleh teman saya di sepanjang perjalanan). Karena di ajak teman, jadilah saya berangkat. Setidaknya untuk cari pengalaman mengikuti aksi, pikir saya saat itu. Namun ternyata saya tidak sendiri. Saat saya bertemu dengan teman-teman saya yang lain di tengah-tengah aksi tersebut, saya bertanya kepada mereka apakah mereka mengerti persoalan aksi ini, Mereka tidak tau. Sebagian dari mereka bilang, kalau mereka turun ikut serta dalam aksi ini hanya untuk mendapatkan absen kelas pada hari itu, sebagiannya lagi bilang diajak oleh teman (sama seperti saya), dan sebagiannya lagi bilang hanya untuk eksis saja biar bisa update snapgram. Itulah fakta di lapangan yang saya temui. Sebagian dari mereka yang datang memenuhi jalan Gejayan pada hari itu tidak tau apa yang harus mereka ‘aksi-kan’.

Hal tersebut tentu saja membuat geram beberapa mahasiswa yang mengerti dan mungkin melek politik di bandingkan yang lainnya . Mereka mengkritik tentang “kualitas massa” pada aksi-aksi tersebut, dimana menurut mereka terlalu banyak orang bodoh yang tidak tau menau soal aksi tersebut dan hanya ikut-ikutan meramaikan aksi saja. Beberapa kritikan saya temukan, secara lisan maupun tulisan di media sosial yang berupa tweet, chat, ataupun status facebook. Berikut saya sertakan contohnya.


Gambar pertama merupakan hasil tangkapan layar dari sebuah status facebook teman saya. Di dalamnya seperti yang dapat kalian baca bahwa ia mengkritik orang-orang yang mengikuti aksi hanya untuk membuat konten dan malah membawa payung. Padahal menurut dia jika mereka berpanas-panasan saat aksi, malah itu merupakan bagian dari memperjuangkan hak-hak rakyat. Lalu gambar kedua adalah sebuah screenshot percakapan di grup SD saya dimana pada saat itu salah satu teman saya bilang bahwa jangan sampai yang turun ikut aksi hanya untuk eksis saja, namun harus tau akar permasalahannya. Jujur untuk gambar yang kedua saya merasa agak tersinggung sebab saya merupakan orang-orang yang dimaksudkan. Meskipun saya datang tidak berniat hanya untuk eksis saja, namun saya turun ke dalam aksi tersebut tanpa mengetahui akar permasalahannya dan berniat hanya untuk meramaikan saja. Bagaimana saya tau akar permasalahannya kalau daun permasalahannya saja saya tidak mengerti.

Bukannya membela diri sendiri dan ketidaktahuan saya terhadap akar permasalahan dari aksi tersebut. Namun menurut saya yang pantas dipersoalkan ialah kualitas substansi aksi itu sendiri alih-alih menyerang intelektualitas massa aksi. Toh aksi massa bukanlah segerombol orang pintar yang terobsesi menentang kezaliman, namun ini ialah kesatuan rakyat yang tergerak atas nurani masing-masing. Ada yang karena sudah kenyang makan janji, ada pula yang turun ke jalan sebab penasaran dengan keramaian yang terjadi. Aksi massa ialah tentang bagaimana menciptakan kondisi gusar bagi pemerintah dan itu adalah kerja kolektif. Kuantitas berbicara lebih banyak ketimbang kualitas personal masing-masing peserta aksi. Bayangkan ketika sebuah aksi unjuk rasa hanya dilakukan oleh orang-orang yang merasa tahu-menahu soal akar permasalahannya. Apakah mereka bisa memadati seluruh Jalan Gejayan? Apakah mereka bisa membuat Senayan banjir akan manusia seperti yang dibanggakan serta diabadikan dalam sebuah video yang direkam dari atas melalui kamera drone? Jawabannya tentu saja tidak.

Menurut saya massa yang berkualitas tidak terlalu berpengaruh sehingga kemungkinan kecil didengar oleh pemerintah dan disorot oleh awak media jika tanpa adanya bantuan dari segerombol orang-orang yang hanya mengetahui daun permasalahan, orang-orang yang datang hanya untuk eksis selfie-selfie, para pemburu konten yang berpayung, hingga sekelompok manusia bingung yag hanya penasaran akan keramaian. Mereka yang menyepelekan demonstran yang ikut aksi hanya untuk eksis itu menurut saya adalah orang yang sombong dan kurang dalam pemikirannya. Mereka tidak pernah berpikir bahwa kuantitas massa jauh lebih diperlukan dalam sebuah aksi unjuk rasa daripada kualitas massa.

Biarlah orang-orang cerdas yang merasa tahu akar permasalahannya itu berdiri di depan dan memimpin teriakan jargon-jargon aksi. Toh teriakan mereka tidak akan terdengar jika tidak digaungkan oleh kita para demonstran numpang eksis yang dikata hanya meramaikan saja. Lalu masihkah orang bodoh dilarang berdemo?


sumber :

1. KBBI

2. UU 1989

3. Status facebook La Ode Muhammad Jifran

4. Grup SD di whatsapp














 
 
 

Recent Posts

See All

Σχόλια


HitamPutih.jpg

Thanks for submitting!

Department of Anthropology

Faculty of Cultural Sciences

Universitas Gadjah Mada

  • Black Facebook Icon
  • Black Instagram Icon
  • Black Pinterest Icon
  • Black Twitter Icon

2019 The Human Stories

bottom of page